Di Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2021, inilah momen semua pihak untuk berpikir ulang tentang cara memajukan pendidikan Indonesia. Karena pendidikan di era digital kini harus dipandang sebagai ikhtiar kolektif. Pendidikan tidak bisa dipandang sekedar pengajaran. Tapi harus melibatkan etika dan moral. Maraknya korupsi, hoaks, dan salaj pakai medsos jadi bukti, pendidikan gagal membangun akhlak manusia pembelajar. Maka, semua elemen masyarakat harus terlibat untuk membenahi dan memajukan dunia pendidikan.
Motto twibbon Hardiknas Kemendikbud yang
tersebar di medsos “serentak bergerak wujudkan merdeka belajar”. Apa artinya
itu? Bahwa urusan pendidikan,
masyarakat harus merasa memiliki, pemerintah harus memfasilitasi, dunia bisnis
harus peduli, pendidik dan anak didik pun harus menyadari makna
pendidikan yang hakiki. Era pendidikan 4.0 harusnya
bukan menjadikan “merdeka belajar” sekadar jargon. Tapi Pendidikan adalah “gerakan” untuk
menjadikan masa depan
pendidikan lebih berkualitas. Semua pihak, harus mau dan
bersedia menjadi bagian dari ikhtiar untuk menyelesaikan problematika yang
merundung pendidikan
Indonesia.
Maka wajar, banyak orang menilai. Sementara era
digital dan teknologi melaju
pesat. Tapi pendidikan Indonesia belum
beranjak membaik. Justru makin kisruh dengan kebijakan dan praktik yang dianggap
tidak berkualitas. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di masa pandemi Covid-19
dinilai gagal. Dunia pendidikan bukan membaik malah jadi polemik. Revolusi industri 4.0 yang
sulit dibantah seakan tidak bisa diimbangi merdeka belajar. Pendidikan gagal merespon cepat teknologi.
Bila tidak mau dibilang sulit berubah.
Sungguh, mencari
cara untuk membenahi dunia pendidikan di Indonesia tidak mudah. Ada tantangan besar. Berharap adanya kualitas
pendidikan di Indonesia bisa jadi masih angan-angan. Terlalu banyak batu
sandungan, membuat dunia pendidikan terus-menerus jadi polemik. Soal
implementasi merdeka belajar, kekerasan di sekolah, kurikulum, kualitas guru, model pembelajaran, hingga
korupsi di dunia pendidikan masih jadi masalah. Belum lagi soal mencari cara yang pas untuk
merespon era revolusi industri 4.0. Maka mau tidak mau, dunia pendidikan dituntut
mampu merespon otomatisasi,
digitalisasi, dan kecerdasan buatan. Maka kata kunci Pendidikan terletak
pada kompetensi dan
kreativitas. Pendidikan yang memberdayakan masyarakat.
Tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta
didik. Agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis, serta bertanggung jawab bisa
jadi hanya slogan. Bila proses belajar dan dunia Pendidikan gagal mengemas upaya pencerdasan
dan penumbuhan generasi yang berkarakter dan berkepribadian. Maka,
ikhtiar mengembalikan
kesadaran tentang pentingnya pendidikan berkarakter menjadi tanggung jawab
semua pihak hari ini.
Hari Pendidikan Nasional kali ini, harusnya
mampu mengajak kita
untuk melakukan instrospeksi diri. Untuk mengukur apa yang sudah
benar dan apa yang masih salah dalam proses pendidikan selama ini. Pemerintah, guru, dan orang tua harus berpikir ulang. Tentang
pendidikan itu bukan membangun kecerdasan tapi keteladanan.
Pendidikan buka lagi soal pelajaran tapi soal
etika dna moral. Maka di situ, sangat dibutuhkan upaya merevitalisasi pendidikan.
Pendidikan tidak lagi proses edukasi. Tapi bertumpu pada nilai-nilai. Ada 5
(lima) uaya revitalisasi pendidikan, antara lain:
Pertama, merevitalisasi sekolah sebagai
sentra pendidikan yang mandiri dan berkarakter. Sekolah
tidak lagi sekadar pelaksana
kurikulum. Melainkan menjadi basis
pengembangan budaya dan karakter siswa.
Kedua, menempatakn
guru sebagai kreator
pembelajaran. Guru harus mampu mengendalikan
konten dan arah pembelajaran sebagai kegiatan yang menyenangkan. Agar
siswa lebih kreatif dan berani dalam menemukan pelajaran dan bidang yang disenanginya.
Ketiga, membuat
pendidikan sebagai media kesetaraan, bukan
kesempurnaan. Praktik dan perilaku belajar harus didorong untuk membangun kerjasama, bukan
kompetisi. Belajar bukan untuk meraih nilai tinggi, melainkan untuk
membangkitkan gairah belajar. Kegiatan belajar bukan bergantung pada “kunci jawaban” tapi bertumpu pada “sikap
pengertian”.
Keempat, menjadikan
orientasi belajar sebagai proses, bukan hasil belajar. Siswa lebih
berani bertanya dan tidak
takut salah. Karena dengan cara itu, siswa akan mampu mengeksplorasi potensi
diri, di samping memacu kreativitas. Karena hasil belajar bukan
satu-satunya indikator keberhasilan siswa.
Kelima,memandang
pendidikan sebagai ikhtiar
kolektif. Pemerintah, guru, oragtua dan lingkungan harus terlibat aktif dalam proses
pendidikan. Karena pendidikan
bukan program melainkan gerakan moral untuk meningkatkan
harkat dan martabat, di
samping peradaban.
Maka esok dan di era merdeka belajar, praktik pendidikan tidak boleh lagi menjejali siswa dengan
beragam materi pelajaran. Tanpa adanya penguatan
karakter. Cerdas memang penting tapi karakter jauh lebih penting. Sangat salah
bila akhirnya pendidikan hanya mampu menjadikan siswa atay manusia, “tahu sedikit tentang banyak hal,
tapi tidak tahu banyak tentang satu hal”.
Selamat Hari Pendidikan #HariPendidikanNasional #Hardiknas #MerdekaBelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar