Mumpung
waktu senggang, Idul Adha kali ini saya gunakan untuk evaluasi program Gerakan
BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.
Sudah 1,5 tahun program itu berjalan. Awalnya hanya 4 ibu, lalu susut jadi 2
ibu dan kini bertambah jadi 11 ibu-ibu. Dan hasilnya, memang mereka sudah bisa
baca walau masih tersendat. Sementara menulis belum. Karena saya percaya,
menulis akan lebih mudah bila terbiasa membaca. Maka ke depan, bukan hanya
kesabaran Tapi butuh komitmen dan pengorbanan yang lebih besar lagi. Agar kaum
ibu ini benar-benar bebas dari buta aksara.
Sayangnya,
ada yang luput dari pengamatan saya. Ternyata, kaum ibu warga belajar tingkat
pendidikannya 33,3% SD, dan 66,7% SD tapi tidak lulus. Memang benar,
memberantas buta aksara itu tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu
dan proses yang panjang. Apalagi bagi mereka yang sudah tidak lagi muda, ibu
rumah tangga pula, dan mungkin belajar baca-tulis bukanlah prioritas dalam
hidupnya. Hanya satu modal yang jadi andalan mereka, masih ada kemauan. Itu
saja.
Di
GEBERBURA, saya sendiri tidak pakai kurikulum keaksaraan nasional karena memang
sulit diterapkan. Terlalu kaku dan step by step-nya tidak cocok. Maka saya
bikin metode “be-nang” alias belajar dengan senang. Selalu berdoa, selalu ada
canda, selalu ada PR, bahkan tiap datang pun tiap peserta saya hadiahi seliter
beras atau mie instan atau jajan bareng asal sudah baca dan tulis.
Maklum,
warga belajar di GEBERBURA memang tidak bisa baca. Tangannya pun terlalu kaku
untuk menulis. Mulut dan lidahnya harus adaptasi dalam mengeja suku kata.
Persis seperti yang mereka bilang ke saya, “Pak, maaf saya ini tidak tahu
tanggal lahir bahkan menulis nama pun tidak bisa”. Dan alhamudlillah, sekarang
mereka sudah bisa tulis nama dan tanda tangan walau tetap tidak tahu tanggal
lahirnya. Apapun perlunya, Ibu harus tulis nama sendiri dan tanda tangan
sendiri, jangan diwakilkan ke orang lain, begitu kata saya pada mereka.
Maka
hikmah sederhana Idul Adha kali ini. Minimal buat saya. Adalah menambah
pengorbanan dan kepedulian untuk tetap mengajarkan mereka. Agar benar-benar
bebas dari buta aksara, agar bisa membaca dan menulis hingga tuntas. Entah,
kapan waktu itu tiba?
Karena
saya yakin, hanya kepedulian yang bisa membebaskan mereka dari belenggu buta
aksara. Idul Adha adalah momen peduli kepada kaum buta aksara yang ada di dekat
kita.
Seberapapun
nikmatnya sate kambing atau sop sapi “qurban” yang saya cicipi. Serasa masih
ada mengganjal bila di dekat saya masih ada kaum yang buta aksara, tidak bisa
baca tidak bisa tulis. Apalagi di era digital kayak begini. Tentu, kita tidak
cukup hanya dengan mengasihani mereka. Maka, ubah setiap niat baik jadi aksi
nyata, kapan pun dan dimana pun. #GEBERBURA #TBMLenteraPustaka
#BerantasButaAksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar