Menilik Potret Pendidikan
Indonesia; Esensi Atau Seremoni?
Apa
kabar pendidikan Indonesia? Yuk, coba ditilik realitasnya.
Karena
menilik itu berarti melihat
dengan sungguh-sungguh atau mengamat-amati. Atau bolehlah disebut memeriksa.
Karena siapapun yang memeriksa itu harus melihat
dengan teliti. Agar tahu persis keadaannya.
Jangan
seperti kawan saya yang seorang pendidik, belum apa-apa sudah menolak konsep “merdeka
belajar”. Sebuah cara berpikir yang buru-buru menolak tanpa mau menilik. Entah,
apa sebabnya? MUngkin, pendidikan selama ini hanya berorientasi pada prinsip “tahu sedikit tentang
banyak hal, tetapi tidak tahu banyak tentang satu hal."
Maka
tulisan ini pun, sama sekali tidak berwewenang untuk memvonis. Tentang pendidikan
di Indonesia itu sudah menggembirakan atau memprihatinkan. Tapi sejujurnya. Di era
revolusi industri 4.0 ini, hampir semua peradaban manusia telah berubah. Di era
digital, perilaku manusia pun sudah berubah. Bahkan saat wabah Covid-19 seperti
sekarang, se,mua orang pun dituntut berubah. Untuk lebih peduli pada cuci
tangan, jaga jarak, dan hindari kerumunan. Silakan deh ditilik. Banyak hal di
dekat kita sudah berubah. Teknologi, transportasi, perdagangan dan sebagainya.
Sudah tidak seperti dulu lagi. Tapi sayang, dunia pendidikan bisa jadi paling
lambat berubah. Atau bahkan belum berubah, masih begitu-begitu saja. Guru yang
selalu merasa lebih hebat dari siswa. Ruang kelas yang tidak memerdekakan siswanya.
Lalu belajar jadi tidak menyenangkan, seperti beban dalam hidup.
Sedikit
saja untuk direnungkan. Ini terjadi di Indonesia. Ketika wabah Covid-19
terjadi, bukannya disembuhkan malah diperdebatkan. Sekarang dilarang mudik,
masih saja ada saja yang cari taktik untuk balik. Wabah Covid-19 seperti jadi
momen untuk menghardik lawan politik. Faktanya begitu. Maka bolehlah itu
disebut potret kualitas sumber daya manusia Indonesia. Cerminan orang-orang
yang sudah lulus dari proses pendidikan. Manusia terdidik yang belum tentu
akademik. Maka wajar, ada kesan pendidikan tidak lagi menyentuh esensi. Hanya
sebatas seremoni.
Tiap
tanggal 2 Mei pun. Kita selalu peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Lalu,
bagaiaman potret pendidikan Indonesia? Esensi atau seremoni?
Di
atas kertas, sebenarnya esensi pendidikan sudah kelar. UU No. 20 Tahun 2003 tegas
menyatakan “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” Selain berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, pendidikan harusberakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Agar pendidikan mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Itulah esensi
pendidikan.
Tapi
dalam realitasnya, pendidikan bisa jadi baru sebatas seremoni. Belum menyentuh
intinya, hakikatnya. Karena proses pendidikan berjalan seperti seremoni. Baru
sebatas memenuhi
rangkaian perbuatan yang terikat pada aturan tertentu. Terlalu tergantung pada
kurikulum dan sarana prasarana. Belum banyak melibatkan kreativitas dan pikiran
yang merdeka. Pendidikan
yang esensi berarti menyentuh inti, bertumpu pada hakikat. Bukan sekadar
seremoni dan rutinitas belajar-mengajar yang apa adanya.
Maka
mutu pendidikan jadi taruhannya. Kualitas sumber daya manusia jadi ukurannya.
Terlepas
dari setuju atau tidak. Survei
kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student
Assessment (PISA) pada Desember 2019 di Paris, menempatkan Indonesia di
peringkat ke-72 dari 77 negara. Bercokol di peringkat enam terbawah, masih kalah
dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Education Index dari
Human Development Reports (2017), pun menyebut Indonesia ada di posisi ke-7 di
ASEAN dengan skor 0,622. Skor tertinggi diraih Singapura (0,832), Malaysia
(0,719), Brunei Darussalam (0,704), Thailand dan Filipina sama-sama memiliki
skor 0,661. Ini hanya menegaskan. Bahwa indeks pendidikan yang rendah jadi
sebab daya saing pun lemah.
Maka,
besarnya anggaran pendidikan tahun 2020 yang mencapai Rp. 505,8 triliun memang
tidak menjamin mutu pendidikan. Sekalipun 20% dari total APBN, harus diakui,
anggaran tidak berkontribusi signifikan terhadap kualitas pendidikan. Asal
jangan berdebat lagi, jadi apa masalah pendidikan? Anggaran, kurikulum, guru
atau apa?
Data
UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, mutu
pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang.
Sedangkan kualitas guru sebagai komponen penting dalam pendidikan, berada di
urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Mungkin tidak perlu dibantah. Karena faktanya,
memang 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal
pendidikan.
Saya
kira cukup sampai di situ. Ternyata belum. Kekerasan di sekolah pun masih
terjadi. Berapa banyak siswa yang meregang nyawa akibat kekerasan di dunia
pendidikan? Ikhtisar Eksekutif Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap
Anak 2016-2020 dari Kemen-PPPA menyebut 84% siswa pernah mengalami kekerasan di
sekolah dan 50% anak pernah mengalami perundungan (bullying) di sekolah. Menurut
KPAI, angka kasus tawuran pelajar pun meningkat, dari 12,9% menjadi 14% di
tahun 2018. Sementara 27% pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan
pelajar dan mahasiswa (Puslitkes UI dan BNN, 2016). Tentu, angka-angkat itu
bukan untuk memojokkan. Tapi untuk memperbaiki diri, untuk menilik pendidikan
di Indonesia.
Maka
dengan pikiran terbuka, mungkin terobosan “Merdeka Belajar” bolehlah dilakukan.
Karena Nadiem Makarim ingin pendidikan kembali ke esensi, bukan seremoni. Agar ada
kemerdekaan berpikir dalam pendidikan, bukan melulu soal aturan main. Dan semua
itu harus dimulai dari guru agar lebih kompeten. Baru kemudian diajarkan kepada siswa. Agar tercipta
pendidikan yang berkualitas. Tinggal kita tunggu implementasinya soal “merdeka
belajar” ini.
Menilik potret pendidikan
Indonesia.
Kata kuncinya ada di pembenahan.
Agar menyentuh esensi, bukan lagi seremoni. Bila mau dievaluasi. Bisa jadi,
pendidikan hari ini tengah mengalami dis-orientasi. Karena orientasi besarnya
malah jadi "tahu sedikit tentang banyak hal, tetapi tidak tahu banyak
tentang satu hal." Maka, ada yang perlu diubah dan harus dibenahi dalam
pendidikan Indonesia.
Salah
satu caranya adalah membenahi kualitas guru. Utamanya, guru-guru yang mengajar dengan
pola "top-down". Agar siswa tidak lagi dianggap sebagai “teko”,
sementara guru sebagai “teko”. Hingga
siswa kian sulit belajar untuk mengeksplorasi potensi dirinya. Bisa jadi guru
lupa. Bahwa pendidikan bukan hanya soal kecerdasan. Tapi soal mentalitas dan
keteladanan. Belajar bukan hanya pengetahuan. Tapi juga soal pengalaman. Agar
kita terbebas dari perdebatan. Guru menyalahkan kurikulum. Lalu kurikulum
menyalahkan guru. Cara berpikir itu tidak ada ahabis-habisnya. Pendidikan
intinya sederhana. Guru harus kompeten dan siswa bergairah dalam belajar. Agar pendidikan
jadi menarik dan menyenangkan.
Secara
ekstrem, saya menyebut “mutu pendidikan itu akan tetap jadi omong kosong”. Bila
guru masih mengajar dengan cara-cara lama. Menafsirkan kurikulum hanya untuk “membunuh”
kreativitas siswa. Hanya berbasis kunci jawaban, tanpa bisa menuntun siswa tahu
pelajaran yang digemarinya. Atau siswa bisa mengenal potensi dirinya.
Kurikulum memang penting. Tapi guru jauh
lebih penting. Agar pendidikan bisa mencapai esensinya bukan sebatas seremoni. Bahkan
menteri sehebat apapun tidak terlalu penting untuk mutu pendidikan. Karena
faktanya, memang sudah terlalu banyak diskusi dan seminar tentang teori-teori
untuk memajukan pendidikan. Tapi sayangnya, kita terlalu sedikit bertindak
untuk membenahi kompetensi dan
mentalitas guru. Buat saya, kompetensi guru adalah jawaban terhadap esensi pendidikan
di Indonesia. Karena bila kompetensi guru rendah, maka kualitasnya pun lemah.
Menilik potret pendidikan Indonesia. Maka
guru haru berbenah agar pendidikan tidak terperangah. Esensi bukan seremoni
apalagi hanya sensasi… SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL #HarDikNas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar