Di musim wabah virus corona begini, banyak orang menghabiskan waktu di
rumah untuk menonton televisi (TV). Apalagi disuruh #DiRumahAja. Setelah makan,
minum, main gawai. Hidup makin paripurna bila gemar menonton TV, begitu kata
banyak orang.
Sementara banyak orang merasa iri terhadap orang lain yang hanya
menonton TV. Saya justru berbalik katakana “beruntung, bila Anda tidak suka
menonton TV”. Menonton TV, memang jadi kegiatan favorit di rumah. Dari
anak-anak sampai orang dewasa. Alasannya, untuk mengisi waktu dan buat hiburan.
Alhasil, studi Nielsen (2018) menyebut orang Indonesia mampu habiskan waktu
menonton TV rata-rata 5 jam setiap harinya. Sementara berselancar di dunia maya
rata-rata 3 jam 14 menit per hari, disusul mendengarkan Radio 2 jam 11 menit. Sedangkan
membaca koran hanya31 menit dan membaca majalah hanya 24 menit. Pantas tradisi
membaca kian jeblok.
Maka beruntung, bila Anda tidak suka menonton TV, seperti saya pun demikian.
Karena terlalu banyak menonton TV, secara tidak sadar, dapat mengganggu
kesehatan mental. Terjebak pada aktivitas gaya hidup yang tidak sehat. Tdak
bisa dibantah, menonton TV pun membuang waktu
secara sia sia; sama sekali tidak produktif.
Menonton TV jelas berbahaya. Hasil studi
menyebutkan, dampak menonton TV dua jam sehari saja dapat
membuat orang merasa gelisah. Apalagi naka-anak. Risiko depresinya sangat besar
dan gangguan ansietas. Keadaan tegang yang berlebihan atau
tidak pada tempatnya. Selalu khawatir, cemas, tidak menentu atau takut. Coba
tanya deh ke mereka yang suka menonton TV.
Pada kolom opini tulisan saya, di Harian Media
Indonesia 26 Agustus 1995 – 25 tahun lalu, saya menyebutkan kebanyakan menonton
TV bisa menimbulkan "Krisis Spiritual". Setidaknya, ada 4 (empat)
krisis spiritual yang dialami orang yang gemar menonton TV yaitu:
1.
Krisis informasi akibat
melimpahnya informasi yang diterima tanpa ada eksekusi. Maka spritualnya galau
gelisah, Makin banyak informasi yang direpoleh, makin bingung makin khawatir.
2.
Krisis imajinasi sosial akibat
banyaknya mencerna bahasa hiperbola dan pleonasme. Sehingga gagal aktualisasi
diri secara sosial. Hidupnya dalam fantasi tanpa aksi sosial apapun.
3.
Krisis budaya akibat ajaran gaya
hidup dan perilaku yang menyimpang. Jadi lebih gemar sensasi daripada esensi.
4.
Krisis identitas akibat
pengaruh tayangan yang tidak sesuai dengan realitas hidupnya. Gagal jadi diri
sendiri dan mengagumi kehidupan fantasi di televise. Identitasnya goyah,
spiritualnya rapuh.
Dan akibat sering menonton TV, banyak orang merasa
hidupnya tidak berharga. Lebih
gemar membanding-bandingkan kehidupan diri sendiri dengan orang lain. Semua
penonton TV ingin bahagia. Tapi rujukannya bukan diri sendiri melainkan orang
lain. Makin merasa tidak mampu, tidak ideal dalam hidupnya.
Apalagi di musim wabah virus corona seperti sekarang.
Justru yang paling takut, paling panic dan khawatir itu para penonton TV. Semua
update dimakan mentah-mentah. Akibtat #DiRumahAja, justru mereka makin takut
makin gelisah. Maka, hindari menonton TV berlebihan.
Beruntung, bila Anda tidak suka menonton TV.
Inilah momentum Anda dan keluarga untuk ebih banyak
membaca, bila perlu menulis. Agar tidak lagi hidup dalam fantasi … #DiRumahAja
#BudayaLiterasi
Numpang promo ya gan
BalasHapuskami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*
ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
BalasHapushanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^