Jumat, 24 Januari 2020

Kapan Manusia Merasa Cukup?


Siapa sih orang paling kaya di dunia ini?
Mungkin sebagian besar jawab, Bill Gates. Bisa juga konglomerat papan atas Indonesia. Atau Christiano Ronaldo. Atau artis ini dan itu. Jawaban yang tidak salah. Tapi belum tepat. Wajar, karena kekayaan di benak banyak orang. Ukurannya harta duniawi.

Jadi, bila belum kaya maka belum cukup. Sebutlah manusia belum cukup.
Kawan saya yang bilang. Selagi masih hidup di dunia, mana ada sih yang cukup. Atau selagi masih jadi manusia pasti tidak akan pernah cukup". Iya juga ya, manusia mana sih yang merasa cukup? Seperti pekerja di sana, bilang “sudah cukup”. Pekerja di sini bilang “belum cukup”. Sementara pekerja yang hilir-mudik bilang “tidak akan pernah cukup”. Jadi bingung, cukup itu ukurannya apa dan siapa ya?

Pantas, kebencian dan sindirian tidak pernah berakhir, Mungkin karena belum cukup. Sekalipun pemilu sudah selesai. Jago-nya sudah ngopi bareng, pendukungnya belum cukup-cukup. Manusia belum cukup namanya.

Cukup itu bukan soal materi melulu. Tapi cukup itu soal hati.
Cukup itu cukupan. Merasa cukup dengan nikmat Allah alias qona’ah. Dan merasa cukup memang ada di hati. Bukan di harta, apalagi di orang lain. Karena manusia yang tidak pernah merasa cukup, pasti selalu menuruti hawa nafsunya. Susah untuk tenang dan tenteram, Penuh kegelisahan. Hingga lupa untuk berbuat kebaikan. APalagi menolong orang lain yang membutuhkan.

Manusia belum cukup sering lupa.
Cukup atau tidak itu sudah dikehendaki-Nya. Karena semua sudah ada dalam ketetapan-Nya. Merasa cukup, maka tidak berlebihan dan tidak berkekurangan. Cukup hatinya, cukup pikirannya, dan cukup perasaannya. Tidak lebih tidak kurang, cukupan.


Kata Pak Sindhunata, “Manusia harus rumongso karo ragane”. Artinya, harus tahu diri dengan raganya. Karena merasa besar itu salah, merasa kecil itu keliru. Maka harus sedhengan (cukupan). Sebab sedhengan itu bisa masuk dalam hati siapa saja; tidak kebesaran dan tidak kekecilan.

“Too much of anything will definitely kill you”.
Manusia belum cukup kalau ngomong jago banget. Tapi nyatanya, semua diukur dari harta dan materi. Pantas belum cukup-cukup. Semua keadaan ditimbang pakai akal dan ego. Bukan hati. Sudah pasti manusia belum cukup. Karena dia gagal menikmati apa yang ada. Dia gagal menahan diri. Dan dia pasti hatinya tertutup. Hingga lupa, dari mana dia berasal dan mau kemana dia pergi?

Manusia makin tidak cukup.
Karena kurang bersyukur. Dan gemar melihat ke atas ditambah jarang bersedekah. Jarang berbuat baik secara nyata pada orang lain. Kebaikan hanya sebatas di dunia maya atau cukup di meja diskusi. Pantas makin tidak cukup, karena kerjanya mengintip laju orang lain. Selalu membandingkan dirinya dengan orang lain.

Kenapa merasa belum cukup?
Manusia belum cukup lupa lagi. Hanya hati yang merasa cukup yang dijanjikan mendapatkan dunia dan seisinya. Hanya manusia yag cukup yang beruntung. Sehingga mudah bersyukur dan jauh dari kesombongan. Maka ketika merasa cukup, saat itu ada dorongan untuk bertindak baik untuk orang lain. Bila merasa tidak cukup, pasti tidak akan baik pada orang lain.

Nabi Muhammad SAW bilang “siapa yang menampakkan kecukupan niscaya Allah akan membuatnya kaya” (HR. Bukhari Muslim).

Siapapun, selagi masih manusia pasti sudah cukup.
Cukup jiwa dan raganya. Bangsanya cukup, pemimpinnya cukup. Bahkan diberi keluarga dan sahabat yang ada pun cukup. Apalagi yang tidak cukup. Semuanya sudah melimpah. Dan itu, sudah pantas dimiliki manusia; tidak berlebihan tidak berkekuarangan. Tinggak disyukuri saja.

Maka katakan “saya sudah cukup”.
Saya pun cukup menjadi pegiat sosial yang akan tetap mengabdi untuk anak-anak taman bacaan, ibu-ibu buta aksara, dan anak-anak yatim binaan. Itu semua sudah cukup.

Maka cukup, tempatnya ada pada sikap. Bukan pada pikiran atau perilaku. Salam cukup nan ciamik. #TGS #BudayaLiterasi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar