Tidak kurang dari 7 anggota TNI dicopot dari
jabatannya terkait unggahan dari sang istri di media sosial soal insiden
penusukan Menkopolhukam beberapa waktu lalu. Lebih dari itu, ke-7 anggota TNI
tersebut juga menerima hukuman disiplin militer. Begitu pula di Aparatur
Sipili Negara (ASN). Sesuai dengan PP 53 tahun 2010, ASN yang melakukan ujaran
kebencian maupun bersikap nyinyir di media sosial dapat dikenakan sanksi mulai hukuman
ringan berupa teguran atau penundaan kenaikan pangkat atau penundaan kenaikan
gaji berkala hingga yang paling berat pemecatan.
Di era media sosial seperti sekarang, memang terlalu mudah
uajran kebencian maupun hoaks tersebar ke mana-mana. Media sosial kerap
dianggap enteng oleh penggunanya. Tapi di media sosial juga melekat konsekuensi
hukumnya, khususnya UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE).
Maka
kini, penting untuk mengangkat persoalan literasi media sosial. Agar para
pengguna media sosial selalu berhati-hati. Agar lebih bijak dalam ber-media
sosial. Literasi media sosial harus ditingkatkan. Karena hakikatnya, media
sosial adalah sarana untuk menebar konten positif dan upaya perbaikan keadaan
yang signifikan.
Berangkat dari realitas
itulah, Syarifudin Yunus, pegiat literasi Indonesia dalam acara “Tajuk” secara
live di TV Parlemen, Rabu 16 Oktober 2019 di Gedung Nusantara II DPR RI
menegaskan pentingnya meningkatkan literasi media sosial masyarakat Indonesia.
Agar kasus-kasus seperti yang dialami anggota TNI tidak terulang lagi.
Literasi media sosial, sejatinya, adalah kesadaran
masyarakat untuk memahami fungsi media sosial sehingga mampu mengolah informasi
dengan baik. Bijak ber-media sosial artinya pengguna media sosial harus
menggunakan akal budi pada setiap unggahan yang dilakukan. Tidak cukup hanya
akal, tapi budi pekerti atau akhlak pun harus diikutsertakan. Harus dipahami, media sosial adalah sarana media daring (online) yang memudahkan
penggunanya untuk ikut berbagi dan ber-ekspresi apapun. Dari ulai yang remeh
temeh hingga yang berat seperti soal politik, pemimpin, atau Negara. Karena
itu, dibutuhkan kehati-hatian dalam ber-media sosial. Tidak bijaknya masyarakat ber-media
sosial, konsekuensinya mudah pula terpapar risiko seperti terlibat menyebar
hoaks, menunggah ujaran kebencian, bahkan fitnah.
Tidak
dapat dipungkiri, saat ini di Indonesia, tidak kurang dari 143 juta dari 262
juta penduduk telah memiliki akses internet dan media sosial. Itu artinya, 1
dari 2 orang Indonesia memiliki akses media sosial. Bahkan lebih mudah lagi,
karena faktanya, 70% dari mereka meng-akses media sosial secara mobile atau
dari gawai yang ada di genggamannya. Maka wajar, pada akhirnya, media sosial melekatkan sifat “kecanduan”
pada penggunanya. Akibat candu media sosial inilah, kemudian menimbulkan
masalah. Karena pengguna media sosial “gagal” memilah dan memilih informasi yang sesuai dengan norma dan tatanan nilai
masyarakat. Literasi media sosial, hakikatnya, bukan hanya mempersoalkan cara dalam
menggunakan media sosial. Tapi juga soal bijaknya seseorang dalam memilah dan
memilih informasi yang baik atau tidak baik, benar atau tidak benar untuk diunggah
ke media sosial.
“Saat ini, literasi media sosial
menjadi penting untuk menggeser penggunaan media sosial tidak lagi sebagai
media untuk ekspresi atau eksistensi. Tapi menjadi sarana edukasi. Maka konten
media sosial harus didorong ke arah konten yang positif dan bermanfaat” ujar
Syarifudin Yunus yang berprofesi sebagai Dosen Universitas Indraprasta PGRI
sekaligus Pendiri TBM Lentera Pustaka.
Bijak ber-media sosial butuh kehati-hatian. Sehingga
unggahan yang dilakukan tidak menimbulkan keributan atau memperkeruh keadaan. Karena
sejatinya, media sosial ada dan digunakan untuk menciptakan keadaan dan
lingkungan sosial yang lebih baik.
Apalagi dengan kondisi saat ini, tidak kurang dari 5,5 jam sehari orang
Indonesia berselenacar di media sosial atau dunia maya. Maka setiap unggahan
atau postingan di media sosial harus mempertimbangkan hal-hal, seperti: 1)
dampak dari unggahan atau postingan, 2) reaksi pembaca medsos, 3) hindari emosi
dan sentimen, dan 4) tetap bersikap empati dan hati-hati.
Maka cara untuk meningkatkan literasi media
sosial cukup sederhana. Sesuai prinsip komunikasi atau informasi, pengguna
media sosial harus memperhatikan 3 (tiga) hal yaitu 1) mengecek SUMBER
informasinya valid atau tidak, 2) menilai PESAN-nya bermanfaat atau tidak, dan
3) memastikan TUJUAN-nya, penting atau tidak – baik atau tidak.
Oleh karena itu, Syarifudin Yunus, menegaskan literasi media sosial
menjadi penting untuk diprioritaskan di era digital. Agar kehidupan masyarakat
dan lingkungan sosial tidak terkoyak akibat “salah pakai” media sosial. Cara
sederhana untuk bijak ber-media sosial, antara lain: 1) hindari konten negatif,
2) kedepankan akhlak daripada akal semata, 3) perhatikan etika media sosial,
dan 4) mulai bijak ber-media sosial dari diri sendiri. Jangan melarang orang
lain bila diri sendiri belum bijak ber-media sosial.
Titik krusial dari literasi media sosial adalah “saring
sebelum sharing; gunting sebelum posting”. Agar tidak menambah masalah akibat
unggahan di media sosial. Maka ke depan, untuk menata media sosial di Indonesia
harus diprioritaskan “spirit baru” media sosial yang 1) kontennya positif, 2) sifatnya edukatif, dan 3) manfaatnya baik. Dan
yang paling penting “tetap memelihara harmoni sosial, sebagai bangsa Indonesia”.
Bila dulu ada pepatah “mulutumu
harimaumu” maka di media sosial “jarimu harimaumu”. Maka, bijaklah ber-media
sosial … #LiterasiMediaSosial #MediaSosial