Ini adalah kenyataan pahit yang sering terjadi di dunia kerja. Saat seorang atasan (atau bos) saat punya jabatan dan berkuasa, memandang setiap keputusannya dianggap “titah”. Perintah yang tidak boleh dibantah. Bawahannya atau staf hanya bisa tunduk, mungkin diam karena takut kehilangan pekerjaan, bukan karena menghormati atasannya.
Di kantor, mungkin di tempat kerja Anda, tidak
sedikit yang merasa jadi atasan mengira wibawa itu lahir dari jabatan. Lalu
membenarkan tindakan arogan dan subjektif. Para atasan sering lupa, padahal rasa
hormat lahir dari cara memperlakukan orang lain, dari adab terhadap bawahannya.
Dan ketika jabatan si atasan itu pergi, barulah terlihat siapa yang benar-benar
dihargai. Bukan karena prestasinya, tapi perilaku si atasan saat masih berkuasa.
Survei saya membuktikan. Banyak bawahan atau
staf tidak lupa bagaimana atasannya mempermalukannya di depan umum. Atasan yang
bertindak semena-mena, arogan dan merasa paling benar sendiri. Bawahannya sangat
ingat nada suara si atasan yang merendahkannya. Bahakan caranya membuat bawahannya
merasa kecil. Orangyang tidak bersalah tapi kesannya “dihukum” oleh atasannya. Semua
itu ternyata disimpan bawahannya, bukan dengan benci. Tapi dengan pelajaran “jangan
jadi seperti itu” (jangan bertindak seperti si atasannya).
Kini jabatan si atasan sudah berakhir tapi
perilakunya dulu tetap membekas di pikiran bawahannya. Bukan prestasinya yang
diingat tapi caranya memperlakukan orang lain saat masih punya kuasa. Atasan
atau pemimpin harus tahu, jabatan itu sementara dan tidak dibutuhkan jabatan
untuk dihormati. Atasan justru dihargai karena sikapnya yang elegan, dikenang
karena ketulusannya untuk berjuang menyejahterakan bawahannya.
Atasan di banyak kantor sering lupa. Gaji bawahannya
tidak seberapa tapi kerjaannya tidak kira-kira. Harus berangkat gelap pulang
gelap. Politik kantor harus membuat para staf hanya diam. Bawahan harus manut
ke atasan. Tapi suaranya jarang didengar, kalaupun bicara bisa dianggap tidak
loyal. Bawahan merasa eksploitasi bukan cuma urusan jam kerja yang panjang. Tapi
batas-batas kemanusiaan pun diabaikan. Terkadang, bawahan bekerja keras bahkan
melampaui kemampuannya. Tapi upah atau gaji tidak ikut tumbuh seiring beban
yang dikerjakannya.
Atasan harusnya bukan hanya memerintah apalagi
menyuruh bawahan. Tapi harus berani memperjuangkan kesejahteraan stafnya. Para
bawahan itu tidak punya dana pensiun, tidak punya tabungan pensiun seharusnya
atasan berani memfasilitasinya, menyampaikan pentingnya dana pensiun untuk bawahannya.
Karena atasan dan bawahan kan bisa cocok bisa tidak cocok. Setidaknya bila
bawahan “harus” di-PHK karena tidak cocok dengan atasan, ya sudah tersedia dana
pensiun yang menjadi hak-nya untuk memperoleh uang pesangon – uang pensiun. Entahlah,
seberapa berpihak kepada bawahannya sendiri untuk urusan pensiun?
Masih ada kok atasan yang naikkan gaji bawahan
sewajarnya saja tidak mau apalagi memberikan dana pensiun. Di situlah
dibutuhkan kepemimpinan empatik, atasan yang menganggap jabatan itu justru amanah.
Untuk selalu memperlakukan orang lain dengan baik dan berani menyejahterakan
stafnya, itulah yang akan selalu diingat, bahkan setelah si atasan pensiun. #AtasanPensiun
#YukSiapkanPensiun #EdukasiDanaPensiun
%20blackexperience.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar