Paradoks pekerja di Indonesia terkait masa pensiun menarik untuk dibahas. Masa bekerja begitu jaya tapi di masa pensiun jadi merana, itulah paradoks. Saat bekerja punya gaya hidup mentereng, begitu pensiun gaya hidup langsung drop. Tidak seimbang kondisi keuangan antara masa bekerja vs masa pensiun. Paradoks pekerja di Indonesia, ada kondisi yang bertentangan antara standar hidup waktu bekerja vs saat pensiun. Entah, apa sebabnya?
Indikator paradoks pekerja jelang pensiun sudah
terlihat saat ini. Riset ADB (2024) menyebut 1 dari 2 lansia (pensiunan) di
Indonesia mengandalkan tranferan dari anak-anaknya untuk biaya hidup di hari
tua. Bahkan 9 dari 10 pekerja di Indonesia sama sekali tidak siap untuk pensiun
atau berhenti bekerja (HSBC, 2028). Apa yang terlihat pada masa bekerja jauh berneda
dengan yang terjadi di masa pensiun, saat tidak bekerja lagi.
Inilah paradoks pekerja Indonesia menjelang
pensiun. Sebuah kondisi pekerja yang bertentangan antara saat bekerja vs saat
pensiun. Mungkin, ada yang salah tentang cara pandang terhadap hari tua atau
masa pensiun. Ada persepsi yang keliru tentang kondisi keuangan di masa
pensiun. Bahkan ada edukasi yang “stuck” akan pentingnya mempersiapkan masa
pensiun sejak dini. Paradoks dan paradoks pekeraj di Indonesia.
1.
Kerja keras puluhan tahun, akhirnya pensiun tanpa tabungan. Banyak orang bekerja 30–40 tahun, tapi di
masa pensiun masih harus bergantung pada anak atau keluarga karena tabungan
pensiun minim. Data BPS dan ADB menunjukkan lebih dari 50% lansia Indonesia
masih bekerja atau bergantung pada transfer anak, bukan dari dana pensiun.
2.
Punya pendapatan rutin (gaji), tapi tidak disiapkan untuk masa tua. Saat bekerja, gaji diterima setiap bulan.
Tapi saat pensiun, kebanyakan hanya dapat uang pesangon secara sekaligus
(sekali cair), lalu habis dalam kurun 2-5 tahun setelah pensiun. Terbiasa hidup
dengan pendapatan rutin, tetapi tidak menyiapkan kepastian pendapatan rutin di
masa pensiun.
3.
Panjang usia, tapi dana pensiun pendek umur. Usia harapan hidup di Indonesia sudah di
atas 72 tahun, sementara banyak orang menyiapkan tabungan hanya untuk beberapa
tahun setelah pensiun. Akhirnya muncul risiko longevity risk: umur sih panjang,
tapi uang tidak punya.
4.
Punya aset, tapi tidak likuid. Banyak pensiunan punya rumah, tanah, atau kendaraan, tapi kesulitan biaya
hidup sehari-hari. Terbukti, aset besar tidak selalu berarti cash flow
cukup. Terjadi paradoks antara "kekayaan di atas kertas" dan
"kesulitan finansial harian", selalu jadi cerita di warung kopi.
5.
Ingin pensiun tenang, tapi malah cari pekerjaan baru. Saat bekerja bilang pensiun dengan tenang
dan sejahtera ternyata har-harinya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Akibat
kebutuhan ekonomi, banyak pensiunan kembali bekerja di sektor informal (ojol, kerja
serabutan, berdagang keci). Niatnya masa pensiun jadi masa istirahat dan tenang,
nyatanya tetap harus kerja.
Paradoks pekerja di Indonesia jelang pensiun. Banyak yang
produktif di usia muda, tapi tidak produktif untuk menyiapkan dana pensiun. Banyak yang punya gaji saat
bekerja, tapi tidak mau menabung untuk masa pensiun. Punya standar hidup selagi
kerja, begitu pensiun langsung “drop” standar hidupnya. Ujungnya, stres dan post
power syndrome di masa pensiun akibat gagal mempersiapkan masa pensiunnya
sendiri. Dana pensiun bukannya “disisihkan” tapi “disisakan”, pensiun dianggap “gimana
nanti” bukan “nanti gimana”.
Akankah paradoks pekerja di Indonesia
terus berlanjut ke depan? Tidak ada yang tahu, hanya kita yang bisa menjawabnya
masing-masing. Mungkin, kerja yes pensiun oke masih sebatas slogan belum menjadi
realitas di kalangan pekerja. Salam #SadarPensiun #EdukasiDanaPensiun#DPLKSAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar