Mungkin, hari-hari sekarang makin banyak orang yang tidak suka membaca. Lebih senang banyak omong atau bertutur kata. Entah, dari mana sumber omongannya? Makanya jadi keder, mana omongan yang benar mana yang salah. Lihat saja di Noel Wamenaker, dia yang ngomong koruptor lebih baik digantung. Jadi wakil menteri, bila mau kaya ya nyopet. Ehh, kirain itu nasihat baik. Nggak tahunya dia sendiri yang memeras dan korupsi. Sebab banyak omong, bukan banyak baca.
Bila
kita tidak suka membaca, carilah pasangan yang suka membaca. Biar hidup isinya
bukan cuma masalah. Bayangkan hidup yang dibahas cuma capek kerja, lelah nggak
punya duit, sibuk urusan ini itu, apalagi ngomongin politik dan naiknya
tunjangan anggota DPR. Tiap orang itu punya masalah sendiri-sendiri, jangan
ditambahin dengan hal-hal yang nggak ada gunanya. Kalau orang lapar ya kasih
makan, jangan kasih nasihat suruh cari uang. Kalau orang nggak punya kerjaan ya
kasih kerjaan, bukan dikasih nasihat suruh cari kerja. Kenapa begitu? Karena
banyak omong, bukan banyak baca.
Hidup
ini dibangun dari bacaan-bacaan, bukan omongan-omongan. Ada bacaan yang kita
beli sendiri bukunya, ada yang di taman bacaan, ada pula yang e-book. Sebab
hidup ke depan, ada yang harus kita ubah, dan ada pula yang memang perlu kita
lawan. Dari situ kita paham, mencintai itu bukan cuma soal jalan bergandengan
tangan. Tapi juga berani menulis ulang jalan hidup bersama. Baik atau buruk
sekalipun.
Pasangan
yang suka bacaan. Pasti paham. Ketika kecewa datang, entah karena gagal, atau
sekadar merasa nggak dihargai, dia tidak akan menutupinya dengan janji manis
kosong. Dia akan jujur, karena dia tahu hidup memang nggak selalu mudah. Tapi
seperti yang pernah dia baca, hidup itu selalu memberi kesempatan untuk
menemukan makna. Dan makna itu, sekecil apa pun, sering kali jadi alasan untuk
membangun lagi esok hari dengan hati yang lebih kuat.
Pasangan
yang suka membaca punya cara sendiri melihat dunia. Ia tahu banget hidup
dibangun dari bacaan-bacaan, bukan hanya nasihat orang. Sekali lagi ingat,
hidup itu ada yang harus dijalani, ada yang harus diubah, bahkan harus dilawan.
Di tengah bisingnya dunia, betapa beruntungnya bila kita punya pasangan yang
tahu cara menurunkan nada. Mengelola masalah. Ia akan menatap kita bukan
sebagai wadah kosong yang harus diisi. Melainkan sebagai manusia yang sedang
tumbuh. Kata Paulo Freire, cinta itu bukan untuk menguasai, tapi membebaskan.
Kalau
kita nggak suka baca, carilah pasangan yang suka baca. Sebab ngobrol bersamanya
nggak pernah dipaksakan. Ia tahu kapan harus memberi jeda. Ia mengerti bahwa
cinta juga butuh tanda baca. Ketika kesedihan datang, ia tidak akan meminta
untuk buru-buru bahagia. Ia tahu betul bahwa luka bukan untuk dibuang tapi
untuk dirawat. Dan di saat hari-hari terasa kusut, ia percaya istirahat itu
bukan kemalasan, melainkan cara menjaga jiwa, cara bersahabat dengan realitas.
Pasangan
yang suka membaca nggak pernah ingin dipuji. Ia hanya duduk diam dan
pelan-pelan membuka buku. Duduk di dunia yang ia cintai. Lalu kita sadar,
obrolan jadi lebih kaya. Nggak hanya tentang harga cabai, gosip tetangga atau
orang. Tapi tentang gagasan, mimpi, dan pandangan yang membuat hidup terasa
lebih luas. Dan di sanalah letak indahnya meski hanya duduk berdua di ruang
kecil, dunia seakan lebih lebar karena saling membuka pintu ke dalam pikiran
masing-masing. Sebab lewat buku, ia bukan hanya merawat pikirannya sendiri.
Tapi sekaligus menyalakan cahaya dalam hubungan.
Kalau
nggak suka membaca, setidaknya carilah pasangan yang suka membaca. Karena dari
sana, kita akan belajar cara mencintai yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih
sabar. Cinta yang nggak hanya mengajak kita bertahan dalam riuhnya dunia. Tapi
juga menuntun kita untuk menemukan makna di tengah bisingnya dunia. Jadi,
membaca itu kalau bukan kita ya pasangan kita. Salam literasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar