Banyak orang bilang nggak bisa hidup tanpa cinta. Omong kosong, hidup itu tergantung nafas atau udara. Maka lebih penting oksigen daripada cinta. Ada pula yang hampir kehilangan kewarasan karena cinta. Status nggak jelas hubungan biasa saja tapi meminta untuk setia. Makanya ada yang bilang, besok-besok nggak usah pakai cinta malah ribet. Setuju nggak?
Hanya orang bodoh yang gampang jatuh
cinta. Bersedia menerima luka tapi masih bilang ikhlas. Sudah tahu terus
terluka karena cinta tapi tetap tidak ingin melepasnya. Tetap mencintai walau
penuh rasa sakit. Bahkan ada cinta yang sangat bodoh. Untuk terus
menunggu, padahal orangnya sudah pergi jauh. Berharap pada sesuatu yang sudah
hilang. Maka wajar, makin banyak orang merasa bodoh karena cintanya.
Apa ada cinta sejati? Sama sekali
nggak ada. Cinta sejati hanya ilusi kesempurnaan. Kan semua manusia pasti punya
kekurangan dan keterbatasan. Maka nggak ada satupun manusia yang bisa dituntut
sempurna, termasuk pasangan kita. Bila hanya mencari pasangan yang sempurna,
kita akan selalu kecewa, karena kesempurnaan itu tidak pernah benar-benar ada.
Sempurna itu hanya ilusi.
Kita sering lupa. Cinta itu hanya
bagus untuk tema cerita sinetron. Cinta yang dijadikan kekuatan kata para
penyair. Bahkan cinta yang selalu mengikat tokoh dalam cerita novel. Lalu,
kenapa kita mau bercinta seperti cerita film atau novel? Sangat bodoh, bila
cinta dibikin kamuflase. Cinta itu nggak pernah bisa diukur. Kemungkinan cinta
hanya dua, dipertahankan atau dihancurkan. Tidak ada yang lain, karena cinta
isinya cuma konsekuensi. Maka siapapun yang mudah jatuh cinta, harus terima
konsekuensinya. Sama sekali ilusi, bila ada yang beranggapan. Bahwa kita
menerima cinta yang layak kita mendapatkannya. Apa ada cinta begitu?
Sudah 29 tahun saya menjalani cinta,
dengan pasangan surutnya. Tidak ada yang lain, selain mau mempertahankan atau
menghancurkannya. Ketika di otak kita hanya orang dan kekurangan pasangan, maka
hancurlah cinta itu. Sebaliknya bila kita, menjadikan cinta lebih matang dari
waktu ke waktu dan mampu menerima kekurangan pasangan dengan sepenuh hati. Maka
cinta itu layak dipertahankan. Cinta itu nggak ada yang sejati. Tapi cinta itu
pasti indah ketika dua jiwa mau saling memahami dan tetap memilih untuk bersama,
meskipun mereka tahu satu sama lain tidak sempurna. Bertahan pada cinta, begitu
cinta di Pendopo Lawas.
“Apa yang menjadi takdirmu akan
menemukanmu” atau “Apapun yang ditakdirkan untukmu, akan mencari jalan untuk
menemukanmu”, begitu kaya Ali bin Abi Thalib. Cinta itu hanya salah satu cara
untuk takdir menemukan tempatnya. Karena apapun yang telah ditetapkan akan
secara otomatis terwujud dalam hidup seseorang, termasuk cinta.
Dalam filsafat Islam, “kurikulum cinta” bukanlah romantisme murahan tapi menjadi cara penyucian jiwa. Cinta nggak boleh karena nafsu atau membabi buta karena suka. Tapi cinta harus berada di tengah, tidak berlebihan dan tidak mengabaikan. Cinta nggak boleh tumbuh dari pikiran ekstrem. Tapi cinta berkembang dari ilmu, akhlak, dan kesabaran; bukan dari fanatisme atau ketakutan. Maka cinta harus mampu menumbuhkan kasih sayang yang adil, mencintai karena Allah, dan membenci karena ilmu. Cinta yang menembus batas menuju makna. jadi, kurikulum cinta apa ada sebenarnya?
Maka hati-hati memaknai cinta. Rileks
saja dan tidak usah berjuang mati-matian untuk cinta. Karena cinta bukanlah
soal menemukan, melainkan menciptakan. Itu berarti, cinta bukan soal menuntut,
tetapi memahami. Aneh, bila bilang cinta adalah segalanya tapi bertindak
sebatasnya. Bilang akan selalu ada untuknya, tapi lebih sering hilang saat
diperlukan. Maka ada benarnya, hanya orang bodoh yang menyerahkan segalanya
untuk orang yang tidak pantas dicintainya.
Cinta itu hanya ilusi. Bagi
orang-orang yang punya harapan lebih pada cinta. Terlalu bergantung dan percaya
pada cinta, sementara cinta sendiri tetap liar dan kemana-mana. Kok masih ada
yang berpikir, “aku tidak bisa hidup tanpa cinta”.
Satu yang pasti, orang yang bertuhan
pada cinta. Maka dialah orang paling susah dikasih tahu atau dinasihati oleh
siapapun. Salam literasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar