Ramadan sebentar lagi pergi. Puasa segera berakhir. Ibadah belum optimal, sementara tadarusan pun sedikit. Sedekah belum banyak. Zakat mal tertinggal, hingga tarawih pun sering tertinggal. Lalu, bagaimana mungkin aku tenang-tenang saja?
Aku masih tenang-tenang saja. Sementara masih banyak
waktu terbuang percuma. Menunda-nunda pekerjaan. Menyepelekan pengabdian dan kepedulian
pada sesama. Merendahkan orang lain. Memamerkan gaya hidup dan duniawi semata.
Belum lagi bertutur kata untuk hal-hal yang tidak pantas dilakukan. Potensi
berbuat baik pun terpinggirkan. Energi untuk membantu sesama pergi entah
kemana? Sungguh merugi aku di bulan puasa kali ini.
Maka, bagaimana mungkin aku tenang-tenang saja. Belum
sadar bahwa waktu hidup itu sangat terbatas. Nafas pun hanya sesaat. Harta dan
kekayaan pun akan sirna. Status sosial, pangkat, dan jabatan pasti akan terkubur.
Apalagi kesombongan dan omongan yang aku bangga-banggakan itu, semua hanya fatamorgana.
Masihkah aku tenang-tenang
saja? Sementara setiap tarikan nafas pasti berhenti. Setiap hembusan nafas pun akan
sto dengan sendirinya. Sebagai tanda, bahwa usiaku dan siapapun di dunia semakin
berkurang. Sebagai simbol, hidup di dunia hanya singkat saja. Lalu, bagaimana
mungkin aku masih tenang-tenang saja?
Kini aku tersadar. Hanya seonggok
daging anak manusia. Tanpa punya arti banyak untuk sang pencipta. Tanpa mau
berbuat baik kepada hamba-Nya. Terlalu mudah membuang-buang waktu. Atas nama pertemanan,
atas nama status sosial telah menganggap remeh usia yang tersisa. Menyepelekan
amalan yang jadi bekal pergi ke akhirat. Terlalu asyik pada dunia hingg alupa akhirat.
Aku bodoh betul, telah menyia-nyiakan waktu hingga kini.
Bagaimana mungkin aku tenang-tenang
saja?
Untuk mengingatkan jangan
sia-siakan waktu, Untuk jangan terlena pada kehidupan dunia yang sementara. Lalu
melupakan amalan dan kebaikan yang harus terus ditebarkan. Sebuah sikap peduli untuk
anak-anak yatim dan kaum jompo. Untuk anak-anak yang terancam putus sekolah dan
kaum buta aksara. Dan untuk orang-orang miskin yang membutuhkan uluran
tanganku. Di mana pun aku berada, hingga kapan pun aku diberi waktu.
Ramadan sebentar lagi pergi.
Puasa pun segera berakhir. Sudah sepantasnya, aku tidak membiarkannya pergi begitu
saja. Tanpa mengukir amalan yang melimpah. Tanpa menyisakan ibadah yang membekas.
Tanpa mendapatkan balasan yang setimpal. Bagaimana aku masih tenang-tenang
saja?
Maka esok, aku harus lebih
sungguh-sungguh. Agar setiap tarikan nafas tidak lagi kosong. Dari kesolehan,
dari ibadah, dari amalan, untuk selalu taqarrub kepada-Nya. Sebab aku tersadar.
Jika aku kehilangan sebutir amalan baik di dunia ini, betapa sedihnya aku di akhirat
nanti di hadapan Allah SWT. Saat terlalu gampang membuang waktu demi waktu
untuk-Nya. Saat menyia-nyiakan usia untuk apapun yang tidak bermanfaat.
Aku masih bertanya. Bagaimana
mungkin aku tenang-tenang saja? Sementara semakin banyak jejak-jejak usiaku di
dunia ini yang segera terhapus. Untuk tidak tertipu dunia. Apalagi menyebut sudah
banyak amal ibadah yang telah dilakukan. Sementara aku sama sekali tidak tahu,
apakah Allah SWT menerima amalan itu atau tidak?
Sungguh aku kian tersadar.
Bahwa selama ini terlalu berani bekerja keras untuk mengejar dunia. Terlalu rajin untuk semua yang bersifat duniawi.
Tapi terlalu malas untuk utusan akhirat. Padahal nanti di akhirat, nasibku
tidak ditentukan pemerintah, tidak pula orang lain. Selain amalan dan kebaikan
yang aku perbuat sendiri.
Jadi, untuk apa aku mentereng
di dunia tapi menjadi cengeng di akhirat. Terlalu bersemangat mengoreksi
kesalahan dan hidup orang lain. Tapi selalu malas dan menutup mata untuk mengoreksi
kesalahann dan dosa diri sendiri.
Sungguh, berpisah dari ramadan.
Tertinggal dari puasa. Aku selalu takut. Bila akhirnya jadi begitu gampang melupakannya,
tanpa mau merindukannya lagi. Maka, bagaimana mungkin aku tenang-tenang saja? Salam literasi #PegiatLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar