Ini hanya sebuah cerita. Saat saya diminta jadi saksi ahli bahasa di Polda Metro Jaya. Markasnya polisi di Jakarta. Waktu di ruang tunggu, terlibat obrolan dengan seorang polwan. Sambil menunggu untuk gelar perkara kasus pencemaran nama baik. Terjadilah obrolan yang tidak disengaja antara saya dengan Mbak polwan.
"Bapak ini siapa dan mau apa di polda?” (kata
mbak polwan)
“Ohh, ya Mbak. Saya kebetulan saksi ahli Bahasa. Ke sini
mau memberi keterangan saat gelar perkara mbak” (jawab saya)
“Jadi, Bapak ahli bahasa ya. Kalo gitu boleh tanya ya
pak. Apa sih bedanya physical distancing sama social distancing pak?”
“Sederhana aja sih mbak. Kalo physical distancing
itu dulunya anak IPA. Kalo social distancing dulunya anak IPS”
"Kalo Bapak, ikutan yang mana…” (kata sang
polwan penasaran)
"Saya nggak ikut keduanya mbak. Karena saya dulunya
anak bahasa…”
Si Mbak polwan pun rada nggak puas gitu, mendengar jawabannya.
Lalu, saya pun bertanya balik ke Mbak polwan.
“Maaf ya Mbak, boleh tanya juga? Kalo lagi ada demo.
Itu isi gas air mata apa sih mbak?”
“Ohh, kalo gas air mata isinya kumpulan chat-chat
yang nggak dibalas pak…”
“Ohh gitu ya. Tapi kok perih banget ya mbak…?”
(tanya saya lagi)
“IYA PAK, PERIH. KARENA UDAH LAMA JALAN BARENG TAPI
JAWABNYA MAAP KITA TEMENAN AJA”
“Ohh iya-ya mbak, pantes perih banget ya mbak …” (kata
saya)
Jadi hikmahnya, jangan terlalu serius dalam hidup. Rileks saja
dan tetap bersikap realistis. Apa yang kita pikir baik, ternyata belum tentu
baik di mata orang lain. Apalagi jelang pilpres, makin banyak orang yang gemar
berbeda dengan kita. Jadi bila nggak sama, ya bukan berarti nggak boleh beda
kan?
Maka biar tetap sehat lahir batin, apapun dibawa rileks saja.
Nggak usah serius-serius seperti obrolan saya dengan Mbak Polwan. Selamat
berpuasa dan tetap semangat ya Salam literasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar