Lagi demam sepak bola nih. Akibat Piala Dunia 2022 di Qatar sudah memasuki babak 16 besar alias perdelapan final. Ada kejutan, saat tim unggulan seperti tim biru langit Uruguay terpaksa pulang duluan menyusul der panzer Jerman yang gagal berlanjut di turnamen sepakbola terbesar sejagat. Ada pula yang tetap bertahan dan masih jadi favorit, seperti tim selecao Brasil, la albiceleste Argentina, kick and rush Inggris, total football Belanda, dan tiki taka Spanyol. Saya sendiri memprediksi tim Brasil akan bertemu Inggris di final, semoga saja.
Menariknya, di sepak bola modern, ternyata filosofi
main cantik tidak lagi cukup. Untuk apa karakter bermain keren bila akhirnya
tidak mampu meraih tiga poin. Sepak bola memang tidak cukup hanya idealisme
atau bahkan sejarah. Terbukti, tim setingkat Korsel, Jepang, Senegal, dan
Maroko yang “tidak diunggulkan” bisa tembus 16 besar. Akibat permainan yang
lebih spartan. Terus berlaga tanpa mengenal lelah untuk meraih kemenangan.
Mengejar
kemenangan, itulah spirit yang bisa dipelajari Piala Dunia 2022 kali ini. Negara-negara
populer di sepak bola pun bisa terpuruk. Segudang bintang lapangan yang tenar
pun bisa kalah dan tersisih dari turnamen. Skill dan popularitas pemain lagi-lagi
tidak cukup. Tanpa diikuti dengan “bertanding dengan baik dan berani” seperti tim-tim
Asia dan Afrika. Dan yang terpenting, semua pertandingan disajikan dalam ritme
sportivitas yang tinggi. Tidak rusuh, tidak saling menyalahkan. Sebuah cara berkompetisi
secara sehat dan beradab.
Gairah dan semangat untuk menang semua
tim di Piala Dunia 2022 memang luar biasa. Walaunya akhirnya harus ada yang kalah
ada yang menang, ada yang tersingkir ada yang melaju. Mereka percaya gairah bermain
bisa menjadi “jembatan” menuju
keberhasilan tim. Menuju puncak laga yang membanggakan bangsa dan negaranya. Tim-tim
keren yang tidak pernah fokus pada rintangan atau handicap. Tapi lebih
fokus pada “jembatan” untuk mengatasi rintangan.
Lalu,
bagaimana dengan sepak bola di Indonesia? Hanya tidak bisa menerima kekalahan kok
harus merenggut ratusan nyawa. Penonton menyerbu ke lapangan. Hingga akhirnya
saling menyalahkan. Sepak bola yang menghalalkan segala cara. Tanpa sportivitas, tanpa
etika, dan menghilangkan nyawa manusia. Sepak bola yang masih di level “kampungan”.
Lebih senang menendang orang hingga terluka daripada menendang bola untuk menjebol
gawang.
Gairah dan semangat, itu
pula yang bisa dipetik pegiat literasi di taman bacaan dari Piala Dunia 2022. Bahwa
taman bacaan tidak cukup dikelola dengan baik tanpa jiwa spartan untuk menghidupkannya.
Harus punya komitmen dan konsistensi dalam beregiatan literasi. Sehingga mampu
menyuguhkan “tontonan” yang mampu menarik minat baca anak-anak dan masyarakat. Di
taman bacaan, tata kelola yang berkualitas memang penting. Tapi tanpa gairah
untuk menjaga aktivitas dan eksistensinya pada akhirnya akan “terkubur”
pelan-pelan.
Membangun kegemaran membaca dan budaya
literasi tanpa gairah bisa jadi akan tumpul. Karena taman bacaan bukan tujuan,
melainkan jalan. Maka prosesnya harus dinikmati dan diimbangi oleh jiwa pantang
menyerah. Rintangan sebesar apapun di taman bacaan pada akhirnya akan terlibat
dengan gairah dan energi untuk bertahan si pegiat literasi. Tentu, harus
didukung eksekusi dan kolaborasi di lapangan.
Di taman bacaan tidak akan pernah ada
kemenangan. Tanpa didukung gairah dan energi untuk menikmati prosesnya. Mulai
dari mengajak anak-anak membaca, mencari donatur buku, menggelar event, hingga
membangun relasi untuk mendapatkan CSR. Maka teguklah secangkir kopi di taman
bacaan, pahit atau manis itu biasa.
Jadi, antara Piala Dunia 2022 dan taman
bacaan selalu ada persamaan. Bahwa keduanya membutuhkan sikap dan hati dalam
bermain. Tidak cukup hanya logika. Salam literasi
#TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar