Zaman begini, banyak orang gila gengsi. Nongkrong di kafe-kafe demi gengsi, eksis di medsos biar dibilang bergengsi. Sebab gengsi, katanya kehormatan jadi tinggi. Martabat jadi oke. Tanpa gengsi dianggap tidak punya eksistensi. Disangka gengsi bikin terhormat? Akibat gengsi, hidup yang mudah malah jadi susah. Faktanya, banyak orang dijajah gengsi.
Kenapa
orang mengejar gengsi?
Katanya,
gengsi dianggap identik dengan kehormatan, dengan martabat seseorang. Hanya
modal gengsi, seseorang dianggap keren. Sementara tanpa gengsi, katanya tidak
punya eksistensi. Gengsi pun dicari banyak orang. Padahal gengsi, hanya
kamuflase hanya rekayasa.
Seperti
orang-orang di medsos yang gila gengsi. Mabuk popularitas. Pengen dipuji orang.
Hingga tidak tahu lagi mana yang boleh mana yang tidak boleh? Semuanya jadi
samar di mata penggila gengsi. Motto hidupnya pun jadi “atas nama gengsi, aku jadi
begini”. Gengsi dianggap bikin kaya, gengsi dianggap bikin status sosial tinggi.
Lupa ya, karena genggi akhirnya nanti malu sendiri. Hanya menang sensasi tanpa
esensi, itulah gengsi.
Beda
halnya dengan pegiat literasi di taman bacaan. Orang-orang yang terbebas dari
belenggu gengsi. Mengajak membaca buku anak-anak kampung, menata rak-rak buku, mengajar
ibu-ibu buta aksara, bahkan mengendarai motor baca keliling kampung. Hanya
untuk menyediakan akses bacaan. Semua itu tidak butuh gengsi. Karena gengsi
tidak akan bisa bikin maju literasi. Maka pegiat literasi dan taman bacaan
tidak boleh gengsi. Siapa pun, saat terjun ke taman bacaan sama sekali tidak
butuh pangkat, jabatan atau kekayaan. Taman bacaan hanya butuh komitmen,
konsistensi, dan mau berbuat sepenuh hati. Mau dosen, mau profesional, mau anak
muda, Asal punya hati untuk mengabdi di taman bacaan, maka pantas jadi pegiat
literasi. Gengsi itu bukan subtansi tapi hanya sensasi.
Gengsi
itu bukan harga diri. Karena gengsi itu basisnya gila hormat atau mabuk
popularitas. Sementara harga diri itu basisnya kesadaran mau memahami realitas.
Gengsi itu ada apanya, sementara harga diri itu apa adanya. Gengsi pun tidak
ada hubungannya dengan kehormatan apalagi martabat. Baik tidaknya seseorang itu
bukan dilihat dari gengsinya melainkan hatinya. Tidak masalah kok tidak kaya
asal cari uang sendiri. Daripada mengaku kaya padahal miskin. Memangnya gengsi
bisa kasih makan orang?
Jangan
jual harga diri demi gengsi. Apalagi mengorbankan harga diri agar dibanggap punya
gengsi. Celakal;ah orang-orang yang korbankan harga diri demi gengsi. Bangun
harga diri dengan perbuatan baik maka gengsi pun melekat sendiri. Untuk apa
kerja keras demi gengsi? Untuk apa berjuang demi gengsi lalu membatasi diri
untuk berbuat baik? Begitulah gengsi merasuki siapa pun.
Tidak
usah gengsi. Bila umur sudah tua, tidak perlu bilang muda. Bila tidak punya
uang tidak perlu berlagak seperti banyak uang. Hanya omong baik di medsos tanpa
perbuatan nyata. Tidak pernah amal tapi teriak rajin amal. Bahkan tidak pernah
membaca buku pun mengaku suka baca buku. Gengsi itu satu-satunya cara bikin sesuatu
yang mudah jadi susah.
Siapa pun tidak dilihat dari gengsinya
tapi amalnya. Maka hiduplah apa adanya tanpa perlu gengsi. Syukuri yang ada dan
nikmati di jalan kebaikan. Tidak perlu gengsi, apa pun alasannya. Karena gengsi
jadi sebab keluh-kesah, jadi sebab sibuk membanding-bandingkan diri dengan
orang lain. Ketahuilah, siapa pun ada di dunia bukan untuk gengsi melainkan
untuk mati.
Maka
berhati-hatilah dengan gengsi. Karena gengsi itu penyakit hati penyakit moral. Siapa
pun yang gila gengsi pasti membahayakan. Jauhi gengsi dan teman-temannya. Karena siapa pun, tidak hidup dari gengsi.
Tapi hidup dari Allah SWT. Gengsi itu bukan harga diri. Salam literasi
#TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar