Taman Bacaan Masyarakat (TBM) LENTERA PUSTAKA adalah sebuah lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang palayanan taman bacaan masyarakat untuk meningkatkan tradisi baca dan budaya literasi anak - masyarakat. Berharap mendapat dukungan berupa buku bacaan dan relawan untuk membimbing jam baca anak-anak. Berlokasi di Kp. Warung Loa Desa Sukaluyu Kec. Taman Sari Bogor (Kaki Gunung Salak). Info hubungi: Syarif - 081285683535
Selasa, 31 Agustus 2021
Problematika Taman Bacaan di Indonesia, Apa yang Harus Dilakukan?
Senin, 30 Agustus 2021
Taman Bacaan Imbau Tokoh Publik Lebih Santun Berbahasa, Apalagi di Media Sosial
Tiba-tiba video lama sebutan “picek” Bupati Banjarnegara viral lagi. Entah kenapa, masih banyak orang yang terlalu mudah mengumbar kontroversial lalu jadi polemik. Bahasa-bahasa yang tidak pantas pun jadi “biang” keributan yang tidak produktif. Mau sampai kapan bangsa Indonesia begini?
Agak prihatin, mencermati perilaku orang-orang yang gemar menimbulkan polemik.
Kata-kata atau bahasa yang kontroversial diangkat ke public lalu jadi
kontroversial. Sementara PPKM dengan berbagai level terus berlanjut di masa pandemic
Covid-19, Kian membatasi produktivitas. Dan bangsa Indonesi belum mampu “keluar”
dari kondisi pandemi untuk segera pulih dan normal. Sementara di Inggris sana,
premier league telah berputar dan penonton-nya membludak seakan tidak ada
Covid-19.
Jadi harusnya bagaimana kita berbahasa sebagai bangsa?
Saya berpendapat hati-hatilah dalam berkata-kata dan
berbahasa. Apalagi di media sosial atau di area publik. Jangan sampai karena sentimen
atau celetukan yang sifatnya informal jadi menimbulkan polemik dan
kontroversial. Hingga jadi masalah huku atau delik aduan. Patut diketahui, UU No. 11/2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bisa jadi alat untuk menjerat
pelakunya. Bahkan di Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut “melarang setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”. Jadi, berhati-hatilah.
Bertutur kata dan menyebut “picek” lalu menjadi viral dan polemik sama
sekali tidak produktif. Kita masih ingat tentang penggunaan kata “anjay” oleh
seorang artis band. Belum lagi polemik yang timbul akibat istilah “pulang
kampung” dan “mudik” yang jadi perdebatan. Maka siapa pun pengguna Bahasa,
hati-hatilah dalam bertutur kata. Lalu bagi penyimak pun harus dilihat manfaat
dan konteks-nya. Agar tidak jadi ribut atau perdebatan yang tidak produktif. Carilah
bahan diskusi yang bermanfaat, yang mencerahkan.
Sebagai sikap dalam berbahasa, kata “picek” atau "anjay" yang dipolemikkan itu
bukanlah kata
baku. Itu hanya Bahasa gaul
atau bahasa lisan. Jadi agak sulit mempersoalkan “kata gaul” yang tidak ada di Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karena sifatnya informal. Kata “picek” tidak ada
di KKBI, kata “anjay” pun tidak ada di KBBI. Lalu untuk apa dipersoalkan? Pasti
tidak dimaksudkan untuk konsumsi publik. Jadi, kata-kata itu dipakai oleh orang yang
tidak tahu cara menggunakan bahasa yang baik dan benar. Bahkan kesantunan
berbahasa pun diabaikan. Kita cukup tahu kualitas berbahasa orang-orang tersebut,
mungkin masih sangat rendah. Kok bisa memakai Bahasa yang kurang
pas atau tendensi-nya negatif. Sama sekali kurang mendidik. Sehingga cukup disarankan memakai
kata-kata yang lebih baik atau lebih pantas. Agar tidak
jadi masalah, tidak jadi polemik. Selesai. Bila esok, ada yang
menggunakan kata-kata seperti "jijay", "alay", "lebay", "tokay",
dan sejeninya. Apa mau diributkan? Sungguh, sangat membuan waktu dan tidak produktif.
Maka siapa pun yang aktif di media sosial atau tokoh public harus
hati-hati. Jangan sampai gara-gara tuturan atau Bahasa jadi masalah. Secara prinsip, saat menggunakan bahasa atau kata-kat itu harus
memperhatikan dua hal: 1) bentuk bahasa dan 2) penggunaannya.
Misalnya, kata “picek”.
Secara bentuk kata "picek" tidak ada di KBBI, maka kata itu tidak pantas
digunakan karena tidak baku. Tapi bila penggunaan kata “picek” dijadikan
sapaan atau umpatan kepada seseorang ya berarti salah, tidak pantas digunakan.
Di sisi lain, setiap perilaku berbahasa dapat dilihat
dari sisi “makna”.
Seperti kata “picek” maka harus
dilihat konteksnya. Soal hubungan antara konteks luar
bahasa dan maksud tuturan. Konteks luar bahasa, seperti dalam pergaulan, untuk
keakraban, kesepakatan kelompok itu sangat mempengaruhi maksud tuturan. Dan
maksud tuturan tentu tidak bisa dilihat hanya dari bentuk dan makna saja. Tapi
patut dilihat pula dari tempat dan waktu berbicara, siapa yang terlibat, lawan
bicaranya, tujuannya, cara penyampaiannya, dan sebagainya.
Agar tidak jadi polemik. Harus dipahami, tiap kasus berbahasa itu
berbeda-beda. Tergantung aspek pragmatiknya sehingga bisa jadi positif atau
negatif, bisa berterima atau tidak berterima. Bahasa itu bisa dipilih yang
baik, bila mau. Tapi di sisi lain, bahasa juga seleratif - tergantung si orang
yang memakai bahasa itu. Di situlah terlihat kualitas berbahasa seseorang.
Maka, berbahasalah yang pantas dan berterima.
Kata-kata yang
diadopsi dari Bahasa gaul, seperti “pecek”, "anjay" dan sebagainya yang tidak pantas dan tidak
santun sebaiknya
diabaikan. Bagi yang paham, cukup diimbau mereka untuk
tidak menggunakan
kata-kata yang tidak pantas itu. Beri tahu mereka untuk menggunakan kata-kata
dan bahasa yang pantas. Bahasa yang santun. Agar tidka jadi polemik.
.
Lakoff, seorang linguis dari Universitas California menegaskan aspek penting dalam
berbahasa. Agar tidak menimbulkan friksi. Tentang pentingnya
kesantunan berbahasa yang harus dilihat dari 1) formalitas,
2) ketidaktegasan, dan 3) kesamaan. Maka bila formalitasnya rendah,
ketegasannya rancu, dan kesamaan tidak terpenuhi di antara pemakai bahasa
berarti tidak santun. Bahasa yang tidak santun cukup diberi tahu yag santun dan
abaikan perdebatannya.
Selain itu, Bahasa pun ada ragam lisan dan tulisan. Dan kedua ragam itu
menempuh jalannya sendiri-sendiri. Tapi yang jelas, ragam lisan tingkat
kebakuannya sangat rendah. Sementara ragam tulisan syarat kebakuannya tinggi.
Maka ada kamus, ada kaidah ejaan, ada tata tulis, dan aturan lainnya. Maka saya menduga
kata "picek"
itu ragam lisan. Jadi, kebakuannya rendah. Jadi untuk
apa diributkan?
Sekali lagi, siapa pun berhati-hatilah dalam berbahasa.
Apalagi di media sosial. Intinya, setiap kata dan bahasa yang digunakan itu punya
kelebihan dan kekurangannya sendiri. Jadi, pilihlah bahasa yang pantas dan
tidak menimbulkan polemik. Ributlah soal yang produktif dan solutif tentang persoalan sosial.
Jangan ribut soal kata-kat atau bahasa yang tidak berkualitas. Salam
bahasa.
Literasi Usia Pensiun, Kapan Pekerja Berhenti Bekerja?
Pandemi Covid-19 yang tidak kunjung usai, akhirnya memberi tekanan psikologis pekerja di Indonesia. Setahun lebih terjadi pasang surut dalam bekerja. Mulai dari work from home, sehari masuk kerja sehari di rumah. Atau terkena kuota 50% yang bisa masuk kerja. Apalagi saat pemberlakuan PPKM. Akhirnya, tekanan psikologis yang luar biasa menghantui banyak pekerja.
Lalu, sebuah hasil studi menyebutkan,
pandemi Covid-19 turut memengaruhi pilihan pekerja untuk pensiun lebih dini.
Temuannya, 73 persen ingin pensiun lebih cepat dan hanya 27 persen yang berpikir akan pensiun
pada usia yang sama atau pada waktu yang sudah ditentukan.
Pertanyaannya, siapa yang menentukan usia
pensiun pekerja?
Dalam praktiknya pun banyak perusahaan
bingung menentukan usia pensiun pekejanya. Urusan usia pensiun pekerja masih
terjadi multitafsir. Hingga jadi sebab terganggunya relasi pekerja dan
perusahaan. Dan patut dipahami, usia pensiun bukanlah kewenangan pekerja. Tapi menjadi
otoritas perusahaan, ada di pihak pemberi kerja.
Soal usia pensiun pekerja. Dalam banyak
peraturan atau literatur pun masih ada kerancuan. Ada yang menyebut istilah
“batas usia pensiun”, istilah yang tidaklah benar. Seharusnya batas usia
bekerja atau penentuan usia pensiun. Bila “pensiun” menurut KKBI didefinisikan tidak bekerja lagi karena masa tugasnya sudah selesai. Maka kata
kuncinya adalah 1) tidak bekerja lagi dan 2) masa tugasnya sudah selesai.
Jadi, masa
tugas selesai itu ditentukan oleh pemberi kerja bukan pekerja. Sayangnya di UU
No. 20/2021 tentang Cipta Kerja, usia pensiun tidak dicantumkan. Begitu pula di
PP No. 35/2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja, dan Pemutusan Hubungan
Kerja.
Waktu kerja, waktu istirahat diatur namun waktu pensiun tidak diatur.
Suatu kali ada
pertanyaan, bagaimana acuan usia pensiun pekerja? Adakah dasar hukum yang
menjelaskan tentang usia pensiun seorang pekerja? Patut diketahui, usia
pensiun, sejatinya cepat atau lambat pasti datang. Karena memang tidak ada
seseorang yang bekerja terus-menerus. Pada usia tertentu pasti akan pensiun. Maka
ketentuan usia pensiun harus diatur dengan jelas. Tidak jadi multitafsir.
Harus diakui, usia
pensiun pekerja khususnya di kalangan swasta masih ada kegamangan. Batas masa
bekerja sebenarnya sampai usia berapa?
Apalagi sejak UU Ketenagakerjaan diubah menjadi UU Cipta Kerja. Sejak UU
Jamsostek diubah menjadi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Belum lagi
soal kerancuan antara pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pensiun. Banyak yang
tidak paham. Bahwa pensiun adalah bagian dari PHK. Hanya PHK ada banyak alasan,
bisa karena pensiun, meninggal dunia, sakit atau cacat, dan atau sebab lainnya
yang dialami pemberi kerja.
Ketentuan usia
pensiun memang tidak diatur jelas pada banyak undang-undang atau peraturan.
Karena disesuaikan dengan jenis profesi atau bidang pekerjaan. Maka ketentuan
usia pensiun harus dicermati dengan seksama. Untuk menentukan usia pensiun
pekerja. Sampai kapan bekerja?
Bila ditilik,
setidaknya ada 4 acuan yang bisa jadi perhatian soal usia pensiun pekerja:
1. Usia Pensiun di UU
No. 11/1992 tentang Dana Pensiun. Usia pensiun memang tidak diatur jelas. Namun
yang diatur adalah hak atas manfaat pensiun. Sebagai implementasinya maka
diterbitkan Permenaker No. 02/1992 tentang Usia
Pensiun Normal dan Batas Usia Pensiun Maksimum bagi Peserta Pearturan Dana
Pensiun. Di sini disebutkan usia
pensiun normal bagi peserta ditetapkan 55 tahun. Akan tetapi bila pekerja tetap
dipekerjakan oleh pengusaha setelah mencapai usia 55 tahun, maka batas usia
pensiun maksimum ditetapkan 60 tahun.
2. Usia Pensiun di PP No. 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun (JP), yang menyebut 1) untuk pertama kali Usia Pensiun ditetapkan 56 tahun, 2) mulai 1 Januari 2019, Usia Pensiun menjadi 57 tahun, 3) Usia Pensiun akan bertambah 1 tahun untuk setiap 3 tahun berikutnya sampai mencapai Usia
Pensiun 65 tahun. Tentu, hal ini
berlaku untuk peserta program Jaminan Pensiun (JP).
3. Usia Pensiun di PP No. 46 tahun 2015
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT) pun tidak dijelaskan.
Namun disebutkan, manfaat JHT wajib dibayarkan kepada peserta apabila: a)
mencapai usia pensiun; b) mengalami cacat total tetap; c) meninggal dunia; atau
d) meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Sementara bila peserta terkena
PHK atau berhenti bekerja sebelum usia pensiun, maka manfaat JHT dibayarkan
pada saat peserta mencapai usia 56 tahun. Tentu hal ini pun berlaku untuk
peserta program Jaminan Hari Tua (JHT).
4. Usia Pensiun di UU No. 11/2020 tentang
Cipta Kerja atau aturan turuannya seperti PP No. 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja sama sekali
tidak diatur. Itu berarti ketentuan usia pensiun pekerja swasta wajib diatur
dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja
Bersama (PKB).
Maka
berdasarkan acuan yang menyiratkan usia pensiun di atas, maka ketentuan usia
pensiun untuk pekerja swasta bertumpu pada perusahaan yang dituangkan ke dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Berkaitan usia pensiun atau batas waktu bekerja, mungkin dapat diterapkan di
kisaran usia 55 sampai dengan 60 tahun. Tentu hal ini disesuaikan dengan
kondisi pemberi kerja dan merujuk pada kebijakan internal perusahaan atau pemberi
kerja.
Oleh karena
itu, pemberi kerja harus selalu meninjau peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama sesuai kurun waktu yang sudah ditetapkan. Jangan sampai ketentuan
usia pensiun menjadi multitafsir, termasuk soal tata cara hak dan kewajiban
manfaat pensiun yang berlaku. Jangan pernah anggap enteng soal usia pensiun pekerja.
#EdukasiDanaPensiun #EdukatorDanaPensiun #UsiaPensiunPekerja
Anak-Anak TBM Lentera Pustaka Bogor Turun ke Jalan, Untuk Apa?
Anak-anak kecil TBM Lentera Pustaka tutun ke jalan, untuk apa?
Anak-anak kecil usia sekolah demo. Seperti yang
terjadi di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak
Bogor. Sekitar 160-an anak pembaca aktif usia sekolah turun ke jalan. Mereka
melakukan "Kampanye Ayo Baca" dengan cara keliling tiga kampung
(Warung Loa - Tamansari - Sukajaya) hanya untuk mensosialisasikan pentingnya
anak-anak usia sekolah membaca buku. Dibimbing wali baca dan para relawan,
anak-anak melakukan "aksi diam berjalan" sambil membaca pamflet
"Anak Sekolah Haru Rajin Membaca", "Ayo ke TBM", Ayo
Baca", "Ayo ke Taman Bacaan", dan hastag #BacaBukanMaen.
Demo anak-anak kecil tentu beda dengan demo orang
dewasa. Atas nama kritik dan emokrasi turun ke jalan. Tapi anak-anak TBM
Lentera Pustaka justru berdemo atau unjuk rasa demi tegaknya tradisi baca dan
budaya literasi anak-anak kampung. Anak-anak yang selama ini sulit mendapatkan
akses buku bacaan. Dan kini setelah ada taman bacaan, mereka mengajak sesama
rekan sebaya untuk datang dan membaca buku di taman bacaan.
Kampanye "Ayo Baca" TBM Lentera Pustaka
ini digelar pada Minggu, 29 Agustus 2021 sebagai bagian dari rangkaian
pencanangan "Kampung Literasi Sukaluyu", dalam mewujudkan kawasan
giat membaca dan budaya literasi berbasis inklusi sosial. Kebetulan TBM Lentera
Pustaka terpilih 1 dari 30 TBM se-Indonesia untuk menyelenggarakan Program
Kampung Literasi tahun 2021 yang diinisiasi oleh Direktorat PMPK Kemdikbud RI
dan Forum TBM Indonesia.
Kampanye Ayo Baca digelar sebulan sekali oleh
anak-anak TBM Lentera Pustaka atas arahan pendirinya, Syarifudin Yunus. Sekali
lagi untuk mengajak anak-anak usia sekolah membaca di taman bacaan.
Maklum, di wilayah ini, angka putus sekolah tergolong masih tinggi. Tingkat
pendidikan masyarakat-nya 81% SD dan 9% SMP. Maka kampanye “Ayo Baca” menjadi
penting digelar untuk membangun kesadaran anak dan orang tua. Akan pentingnya
sekolah dan pendidikan. Tidak boleh ada alasan apapun untuk memberhentikan anak sekolah.
Dan hasilnya kini, TBM
Lentera Pustaka memiliki lebi dari 16o anak pembaca aktif dari sebelumnya hanya
14 anak saat berdiri tahun 2017 lalu. Anak-anak yang membaca buku seminggu 3
kali dan berasal dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya). Selain itu, TBM
Lentera Pustaka pun menjalankan program GEBERBURA (GErakan BERantas BUta
aksaRA) yang diikuti 9 warga belajar buta huruf, KEPRA (Kelas PRAsekolah) yang
diikuti 25 anak usia PAUD, YABI (YAtim BInaan) yang menyantuni 16 anak yatim,
JOMBI (JOMpo BInaan) dengan 8 jompo, dan KOPERASI LENTERA dnegan 25 ibu-ibu
sebagai koperasi simpan pinjam untuk mengatasi soal rentenir dan utang berbunga
tinggi. Bahkan ada pula TBM Ramah Difabel yang diikuti 3 anak difabel di TBM
Lentera Pustaka.
Aksi demo atau unjuk rasa, mungkin sah-sah saja
bagi siapa pun. Tapi di TBM Lentera Pustaka, demo atau unjuk rasa dlakukan
hanya untuk kampanye "Ayo Baca". Alias mengajak anak-anak untuk
datang dan membaca di taman bacaan. Karena padaa akhirnya demo atau kampanye
yang paling penting seharusnya berujung pada nilai-nilai kebaikan dan
“kemanusiaan”. Kampanye untuk membangun peradaban rakyat dan memajukan
pendidikannya. Dan semua itu, bukan sebatas slogan atau pikiran. Tapi eksekusi
dan aksi nyata.
Kampanye Ayo Baca, adalah praktik
baik yang ada di taman bacaan. Lembaga pendidikan masyarakat atau nonformal
yang bekerja untuk kemanusiaan dan kebaikan orang banyak. Akan entingnya
menebar manfaat untuk sesama anak bangsa. Agar anak-anak kampung di kaki Gunung
Salak Bogor mau membaca. Sebagai bentuk perlawanan sederhana terhadap putus sekolah
dan pernikahan dini. Salam literasi.
#TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #KampungLiterasiSukaluyu #BacaBukanMaen