Rabu, 11 November 2020

Kenapa Ayah Tidak Pernah Menangis? Selamat Hari Ayah

Selamat Hari Ayah, Pak. Bagi tips jadi seorang ayah dong, Pak?” Begitu teks percakapan seoarang ayah muda kepada saya pagi ini. Saya pun menjawab, terima kasih.

 

Tentang tips menjadi seorang ayah, saya tidak menjawabnya. Karena semua ayah, pasti punya tips sendiri dalam menjalani predikat sebagai “ayah”. Ayah bukan gelar, bukan pula kasta atau hanya status. Tapi ayah adalah tanggung jawab, ayah adalah amanah. Siapapun yang menjadi ayah. Pasti melekkat pada dirinya tanggung jawab dan amanah secara bersamaan. Tanpa perlu ada diskusi tentang ayah ideal atau tidak ideal. Apalagi ayah idaman dan tidak idaman. Ayah itu proses. Dan setiap ayah punya ceritanya sendiri. Tanpa bisa dibandingkan atau digeneralisasi.

 

Ayah saya kini 75 tahun. Dulu, ia seorang tantara bintara yang berjuang mati-matian untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Sepulang kerja, ia berangkat lagi untuk “jaga malam” di suatu perusahaan. Begitu setiap harinya, tiap malam tidak tidur di rumah. Hingga pensiun di tahun 2000-an pun masih begitu. Mencari uang tambahan di luar gaji. Itu semua dilakukan karena tanggung jawab ayah.

 

Lalu, sejak tahun 1997, ibu saya pun terserang stroke. Sejak itu pula, ayah saya mulai merawat ibu saya di rumah sambil menikmati masa pensiunnya. Tentu dengan bantuan anak-anaknya. Singkat kata, hingga ibu saya meninggal dunia tahun 2017 pun, ayah sayalah yang merawat penuh sehari-seharinya. Mendampingi, memberi makan, memandikan, dan mengurus segala sesuatunya. Seorang ayah yang 20 tahun merawat istri dalam sakitnya. Itu semua dilakukan karena amanah seorang ayah. Dan kini, ayah saya pun tengah menikmati masa pensiunnya di rumah. Sambil ibadah menjalani hari tuanya. Selain menengoknya, saya selalu berdoa agar ayah saya sehat wal afiat dan selalu diberkahi Allah SWT.

 

Saya tidak pernah melihat ayah menangis. Walau saat itu, sebenarnya sah-sah saja dia menangis. Hebatnya lagi, dia tidak pula mengeluh. Sorot matanya tidak pernah putus asa merawat istrinya yang 5 tahun jelang kepergiannya hanya bisa terbaring di tempat tidur. Ayah yang ikhlas, tegar, dan sabar dalam segala keadaan. Karena dia yakin, ada tanggung jawab dan amanah di pundaknya.

 


Bercermin dari sosok ayah saya, ada pelajaran sederhana tentang ayah:

1.      Seorang ayah itu bukan memberi tahu cara hidup. Tapi dia berproses untuk hidup dan membiarkan anak-anak melihat untuk melakukannya. Ayah tidak melulu “gudang nasihat” tapi justru “replika kehidupan” yang nyata.

2.      Seorang ayah itu mengajarkan jangan terlalu putus asa ketika ada masalah dan  jangan terlalu sombong ketika segalanya berjalan baik. Agar tetap rendah hati dan tenang dalam menjalni kehdupan. Karena roda kehidupan akan terus berputar, baik suka maupun duka.

3.      Seorang ayah tidak boleh memusingkan persoalan secara berlebihan. Karena memang hidup tidak ada yang sempurna. Teruslah bersyukur dan ikhtiar yang terbaik. Maka tiap ayah harus terus bergerak dalam keadaan apapun.

 

Ayah tidak pernah menginginkan anak-anaknya jadi ini jadi itu. Ayah hanya bisa mempertontonkan perbuatan baiknya sebagai tanggung jawab dan amanah. Maka kebanyakan ayah, hanya berpesan kepada anak-anaknya, “jadilah yang terbaik, sebaik yang seharusnya dilakukan seorang anak”.

 

Tapi sosok ayah hari ini bisa saja berubah. Ayah zaman now.

Survei menyebutkan, 52% ayah zaman now lebih senang main gawai daripada main dengan anaknya. Dan 28% ayah “menyerah” karena tidak mampu jadi contoh untuk anak-anaknya. Alhasil, 3 dari 10 anak Indonesia hari ini merasa tidak diperhatikan ayahnya. Karena ayah zaman now sibuk mengejar dunia.

 

Ayah zaman now, lebih suka berangkat pagi pulang malam. Berangkat gelap pulang gelap. Ayah-ayah yang cuma bisa buka kaus kaki, ganti baju, baca koran, lalu ngopi sambil main gawai dan baca-baca chat di gawai. Ayah yang tanggung jawab karena mencari nafkah. Tapi belum tentu amanah untuk keluarganya, anak-anaknya.

 

Agak kasihan anak-anak zaman now. Punya ayah tapi terasa tidak ada ayah. Secara fisik ayahnya ada. Tapi secara batin, anak-anak zaman now ibarat “yatim”. Anak-anak yang duduk di sebelah ayah tapi tidak ada yang bisa diungkapkan. Anak-anak yang tidak  berani bicara bahwa di sekolah sulit. Takut dimarahin, takut diomelin sama ayah zaman now.

 

Maka di Hari Ayah yang indah ini. Hanya pesan sederhana yang bisa dipetik untuk esok. Untuk ayah, peluklah anak-anakmu dan berikan kehangatanmu seperti hangatnya kamu di luar sana. Dan untuk anak-anak, jangan pernah memandang sebelah mata tentang sosok ayah yang ada di depanmu.

 

Karena ayah di manapun. Bagaikan lilin di kala gelap, selalu menerangi agar kamu tidak sendirian dalam kesunyian. Selamat Hari Ayah!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar