Hari-hari ini begini. Mungkin Pak Donald Trump sedang menikmati kesendiriannya di Gedung Putih. Sambil menunggu waktu untuk angkat koper dari situ. Sambil tetap meng-klaim dia menang. Di saat yang lain, dia berpidato Pilpres AS penuh kecurangan. Satu kali bilang menang, di kali yang lain bilang curang. Itulah cara Pak Trump. Sebenarnya sih, sah-sah saja dia menentang hasil piplres itu. Tapi sayang, dia melakukannya dengan cara yang salah. Dan sebentar lagi, Pak Trump “hampir pasti” angkat koper dari Gedung Putih diganti oleh Pak Joe Biden. Lalu, para analis mulai bergeming. Tentang apa dampaknya bagi Indonesia? Bagaimana politik luar negeri AS nantinya? Ahh maaf, saya tidak mengerti soal itu semua. Itu bukan negara saya.
Kekuasaan itu emang memacu
adrenalin. Membangkitkan nafsu birahi berkuasa. Siapapun dna di manapun. Tidak
terkecuali di negeri ini. Besok pun ada 270 daerah yang akan diperebutkan
kekuasaan. Sebagian bermimpi punya kekuasan. Sebagian yang lain sedang berjuang
untuk berkuasa. Dari kuasa pula bisa muncul kesewenang-wenangan. Bahkan dari
banyak penguasa atau orang yang berkuasa. Sifat hakikinya jadi arogan, apatis, dan egois. Tidak peduli pada
apapun dan siapapun. Saat belajar dulu, saya kira kekuasan itu amanah. Ternyata
bukan. Tapi kenapa, kekuasaan tetap saja dikejar orang, itu soal lain.
Walaupun
belum tentu punya manfaat buat orang lain. Kekuasaan, bisa jadi dianggap lebih
prestise. Lebih keren sebagai simbol status. Berkuasa tapi tidak bisa
memberdayakan orang lain tidka masalah. Berkuasa tapi gagal mengangkat orang
yang lemah pun tidak mengapa. Karena kekuasaan dianggap soal besar bagi
pemiliknya. Hingga akhirnya lupa. Bahwa kekuasaan itu hanya barang rapuh lagi
semu.
Bila kekuasaan itu soal
besar. Maka ada soal kecil dalam hidup manusia. Misalnya, urusan taman bacaan
itu soal kecil. Karena di taman bacaan tidak ada popularitas. Tidak ada
uangnya. Taman bacaan tidak bisa bikin orang bergengsi. Apalagi hanya mengurus
kebiasaan membaca anak orang. Maka wajarlah urusan taman bacaan jadi remeh temeh.
Sangat benar. Memang begitu fakta taman bacaan di Indonesia. Sedikit yang
peduli, sedikit saja yang mau berkiprah. Karena urusan taman bacaan hanya bisa
dilakukan oleh mereka yang “sudah kelar” dengan hidupnya. Sementara yang belum,,
tentu belum sampai ke situ …
Jadi, apa yang saya
mau katakan di sini?
Saya hanya mau
bilang. Memang nyata, hidup manusia itu dihadapkan pada dua kutub yang
kontradiktif. Buat seorang Pak Trump kekuasaan itu soal besar, sementara taman
bacaan soal kecil. Bahwa banyak orang lebih senang dengan urusan “besar”
daripada urusan “kecil” itru fakta. Kekuasaan, pangkat, harta dan jabatan itu
besar. Tapi urusan tradisi baca, anak putus sekolah hingga kemiskinan orang
lain itu soal kecil. Maka, lebih enak berebut soal besar daripada soal kecil. Begitu
kira-kira.
Semoga saja kita
tidak lupa. Bahwa urusan besar di dunia bisa jadi itu hanya soal kecil di
akhirat. Sebaliknya, apa yang dianggap soal kecil di dunia bisa jadi
timbangannya berat di akhirat. Tentu, ini hanya pesan moral. Agar kita tidak
lupa. Sebenarnya kita ini, dari mana berassal dan mau ke mana pergi nanti?
Zaman
begini. Soal amal bukan lagi soal besar. Mungkin soal surga dan neraka juga dianggap
soal kecil. Kepedulian kepada sesama tidak popular. Bahkan soal taman bacaan
pun dianggap bukan zamannya lagi. Semua perilaku baik sudah jadi soal kecil. Tapi
soal kebencian, permusuhan dan kekuasaan justru jadi barang besar.
Esok, mungkin berapa
lama waktu lagi. Kita hanya habiskan waktu untuk mengurusi hal-hal yang “nampak
besar”. Sementara lupa pada hal-hal yang “nampak kecil” di dunia. Lebih
cenderung pada kekuasaan yang besar. Gemar pada gaya hidup, gengsi, dan status sosial
agar dibilang besar lagi hebat. Mau sampai kapan?
Seperti
si Trump. Kadang manusia memang lebih suka menentang kebaikan sekecil apapun.
Lalu berdalih dengan cara-cara yang salah. Manusia sering lupa. Bahwa amal dan
kebaikan kecil yang sering kita abaikan. Justru itu yang akan jadi “tangga”
menuju ke surga-Nya.
Pantas,
makin banyak orang yang sering terjatuh. Bukan karena menabrak batu besar tapi karena
tersandung batu kecil. Terlihat namun terasa tidak tampak di matanya …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar