Jumat, 06 November 2020

Antara Donald Trump dan Taman Bacaan, Penting Mana?

Hari-hari ini begini. Mungkin Pak Donald Trump sedang menikmati kesendiriannya di Gedung Putih. Sambil menunggu waktu untuk angkat koper dari situ. Sambil tetap meng-klaim dia menang. Di saat yang lain, dia berpidato Pilpres AS penuh kecurangan. Satu kali bilang menang, di kali yang lain bilang curang. Itulah cara Pak Trump. Sebenarnya sih, sah-sah saja dia menentang hasil piplres itu. Tapi sayang, dia melakukannya dengan cara yang salah. Dan sebentar lagi, Pak Trump “hampir pasti” angkat koper dari Gedung Putih diganti oleh Pak Joe Biden. Lalu, para analis mulai bergeming. Tentang apa dampaknya bagi Indonesia? Bagaimana politik luar negeri AS nantinya? Ahh maaf, saya tidak mengerti soal itu semua. Itu bukan negara saya.

 


Kekuasaan itu emang memacu adrenalin. Membangkitkan nafsu birahi berkuasa. Siapapun dna di manapun. Tidak terkecuali di negeri ini. Besok pun ada 270 daerah yang akan diperebutkan kekuasaan. Sebagian bermimpi punya kekuasan. Sebagian yang lain sedang berjuang untuk berkuasa. Dari kuasa pula bisa muncul kesewenang-wenangan. Bahkan dari banyak penguasa atau orang yang berkuasa. Sifat hakikinya jadi arogan, apatis, dan egois. Tidak peduli pada apapun dan siapapun. Saat belajar dulu, saya kira kekuasan itu amanah. Ternyata bukan. Tapi kenapa, kekuasaan tetap saja dikejar orang, itu soal lain.

 

Walaupun belum tentu punya manfaat buat orang lain. Kekuasaan, bisa jadi dianggap lebih prestise. Lebih keren sebagai simbol status. Berkuasa tapi tidak bisa memberdayakan orang lain tidka masalah. Berkuasa tapi gagal mengangkat orang yang lemah pun tidak mengapa. Karena kekuasaan dianggap soal besar bagi pemiliknya. Hingga akhirnya lupa. Bahwa kekuasaan itu hanya barang rapuh lagi semu.

 

Bila kekuasaan itu soal besar. Maka ada soal kecil dalam hidup manusia. Misalnya, urusan taman bacaan itu soal kecil. Karena di taman bacaan tidak ada popularitas. Tidak ada uangnya. Taman bacaan tidak bisa bikin orang bergengsi. Apalagi hanya mengurus kebiasaan membaca anak orang. Maka wajarlah urusan taman bacaan jadi remeh temeh. Sangat benar. Memang begitu fakta taman bacaan di Indonesia. Sedikit yang peduli, sedikit saja yang mau berkiprah. Karena urusan taman bacaan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang “sudah kelar” dengan hidupnya. Sementara yang belum,, tentu belum sampai ke situ …

 

Jadi, apa yang saya mau katakan di sini?

Saya hanya mau bilang. Memang nyata, hidup manusia itu dihadapkan pada dua kutub yang kontradiktif. Buat seorang Pak Trump kekuasaan itu soal besar, sementara taman bacaan soal kecil. Bahwa banyak orang lebih senang dengan urusan “besar” daripada urusan “kecil” itru fakta. Kekuasaan, pangkat, harta dan jabatan itu besar. Tapi urusan tradisi baca, anak putus sekolah hingga kemiskinan orang lain itu soal kecil. Maka, lebih enak berebut soal besar daripada soal kecil. Begitu kira-kira.

 

Semoga saja kita tidak lupa. Bahwa urusan besar di dunia bisa jadi itu hanya soal kecil di akhirat. Sebaliknya, apa yang dianggap soal kecil di dunia bisa jadi timbangannya berat di akhirat. Tentu, ini hanya pesan moral. Agar kita tidak lupa. Sebenarnya kita ini, dari mana berassal dan mau ke mana pergi nanti?

 

Zaman begini. Soal amal bukan lagi soal besar. Mungkin soal surga dan neraka juga dianggap soal kecil. Kepedulian kepada sesama tidak popular. Bahkan soal taman bacaan pun dianggap bukan zamannya lagi. Semua perilaku baik sudah jadi soal kecil. Tapi soal kebencian, permusuhan dan kekuasaan justru jadi barang besar.

 

Esok, mungkin berapa lama waktu lagi. Kita hanya habiskan waktu untuk mengurusi hal-hal yang “nampak besar”. Sementara lupa pada hal-hal yang “nampak kecil” di dunia. Lebih cenderung pada kekuasaan yang besar. Gemar pada gaya hidup, gengsi, dan status sosial agar dibilang besar lagi hebat. Mau sampai kapan?

 

Seperti si Trump. Kadang manusia memang lebih suka menentang kebaikan sekecil apapun. Lalu berdalih dengan cara-cara yang salah. Manusia sering lupa. Bahwa amal dan kebaikan kecil yang sering kita abaikan. Justru itu yang akan jadi “tangga” menuju ke surga-Nya.

 

Pantas, makin banyak orang yang sering terjatuh. Bukan karena menabrak batu besar tapi karena tersandung batu kecil. Terlihat namun terasa tidak tampak di matanya …

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar