Mas Nadiem yang terhormat.
Jujur saja. Saya sih gak tahu apa itu POP (Prorgam
Organisasi Penggerak) yang diributkan belakangan ini? Cuma baca saja, tahu-tahu
Muhammadiyah mundur, NU ikut mundur, terakhir PGRI juga mundur. Kapan
ditawarin, kapan kirim proposal, kapan diseleksi itu semua. Saya gak tahu sama
sekali Mas Nadiem. Mungkin karena saya Cuma rakyat jelata ya. Saya juga gak
tahu mundur itu karena harga diri, atau karena uang. Atau bisa jadi juga si POP
itu banyak janggalnya.
Belum
lagi soal kategori “gajah – macan – kijang” di POP itu. Gak ada istilah lain
apa, Mas Nadiem. Apalagi si Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation, konon masuk
kategori gajah. Ada yang bilang gak masuk akal. Ahh sudahlah Mas Nadiem, saya
jadi makin pusing.
Saya
juga gak mau terlibat polemik kayak begituan. Saya cuma mau bilang, Mas Nadiem
pasti dikelilingi “orang-orang pintar dan hebat”. Hanya saya mau kasih tahu,
orang pintar dan orang hebat itu juga manusia. Jadi, cara mikir mereke juga
belum tentu benar. Dan yang saya tahu tentang orang pintar itu, hanya jago
mikir dan jago di atas kertas. Aslinya, mereka gak tahu lapangan, gak tahu
realitas yang terjadi sebenarnya.
Makanya
saya kasih tahu Mas Nadiem.
Ini
fakta Mas. Anak-anak di kampung, seperti di Kaki Gunung Salak. Hari ini dan
sejak ada Covid-19 itu praktis libur alias tidak belajar. Bukan belajar dari
rumah. Apalagi belajar jarak jauh mereka mah gak kenal itu. Beda sama
orang-orang keren. Mereka gak punya gawai, gak punya komputer, termasuk akses
internet juga gak ada. Itu 75 km dari Jakarta lho, apalagi yang di pelosok ya
Mas.
Tahun
ajaran baru begini saja. Mas Nadiem tahu gak? Anak-anak itu juga gak
ngapa-ngapain. Orang tuanya gak nanya, anaknya juga gak tahu. Guru apa kabarnya
gak jelas. Sekolah lagi ngapain juga gak ada yang tahu. Ini bukti Mas Nadiem, pendidikan
Indonesia itu harus dibenahi ke arah yang lebih jelas. Bukan malah bikin
program yang makin gak jelas.
Sementara
orang tua siswa yang punya fasilitas; punya gawai punya laptop dan akses internet.
Tiap hari justru kepusingan ikut ngajarin anaknya. Karena gurunya gak nerangin,
tahu-tahu tugas aja. Sementara orang tua yang miskin dan gak punya fasilitas, ahh
mereka mah udah dari dulu pusing. Mereka diam walau tidak ada yang bantu
ngurangin pusingnya. Orang tua pusing, orang pintar pusing, negara jadi pusing
deh.
Jadi,
apa yang saya mau bilang ke Mas Nadiem?
Sederhana
Mas, gak usah bikin kebijakan lagi. Tapi cukup suruh semua apparat dan
perangkat pendidikan turun ke lapangan. Kenali masalahnya konkretanya apa? Lalu
cari solusinya. Bila perlu Kerjasama dengan Lembaga atau komunitas yang sudah
ada di daerah tersebut, di kampung-kampung. Ajak mereka bantu siswa-siswa,
anak-anak Indonesia di wilayahnya. Jadi jangan bikin kebijakan tanpa masalahnya.
Karena tiap daerah tiap lokasi, punya masalah yang beda-beda. Entah fasiltas
belajar, entah gurunya, entah media belajar dan sebagainya. Orang-orang pintar
Mas Nadiem pasti tahu itulah ….
Covid-19
memang musibah Mas. Gak ada yang tahu dan gak ada yang mau juga. Tapi setelah
terjadi, ada hikmahnya. Bahwa dunia pendidikan Indonesia sama sekali gak siap
dan gak mampu melanggengkan hak anak-anak untuk tetap belajar.
Mas
Nadiem, mendekatlah pada anak-anak Indonesia. Jangan di belakang meja doang,
apalagi cuma mendengar ocehan orang-orang pintar yang belum tentu benar.
Ini
anak-anak Indonesia lho, Mas. Oke Mas Nadiem, maaf ya dan semoga berkenan ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar