Minggu, 26 Juli 2020

Kritik untuk Mas Nadiem, Mendekatlah Pada Anak-anak Indonesia

Mas Nadiem yang terhormat.

Jujur saja. Saya sih gak tahu apa itu POP (Prorgam Organisasi Penggerak) yang diributkan belakangan ini? Cuma baca saja, tahu-tahu Muhammadiyah mundur, NU ikut mundur, terakhir PGRI juga mundur. Kapan ditawarin, kapan kirim proposal, kapan diseleksi itu semua. Saya gak tahu sama sekali Mas Nadiem. Mungkin karena saya Cuma rakyat jelata ya. Saya juga gak tahu mundur itu karena harga diri, atau karena uang. Atau bisa jadi juga si POP itu banyak janggalnya.

 

Belum lagi soal kategori “gajah – macan – kijang” di POP itu. Gak ada istilah lain apa, Mas Nadiem. Apalagi si Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation, konon masuk kategori gajah. Ada yang bilang gak masuk akal. Ahh sudahlah Mas Nadiem, saya jadi makin pusing.

 

Saya juga gak mau terlibat polemik kayak begituan. Saya cuma mau bilang, Mas Nadiem pasti dikelilingi “orang-orang pintar dan hebat”. Hanya saya mau kasih tahu, orang pintar dan orang hebat itu juga manusia. Jadi, cara mikir mereke juga belum tentu benar. Dan yang saya tahu tentang orang pintar itu, hanya jago mikir dan jago di atas kertas. Aslinya, mereka gak tahu lapangan, gak tahu realitas yang terjadi sebenarnya.

 

Makanya saya kasih tahu Mas Nadiem.

Ini fakta Mas. Anak-anak di kampung, seperti di Kaki Gunung Salak. Hari ini dan sejak ada Covid-19 itu praktis libur alias tidak belajar. Bukan belajar dari rumah. Apalagi belajar jarak jauh mereka mah gak kenal itu. Beda sama orang-orang keren. Mereka gak punya gawai, gak punya komputer, termasuk akses internet juga gak ada. Itu 75 km dari Jakarta lho, apalagi yang di pelosok ya Mas.

 

Tahun ajaran baru begini saja. Mas Nadiem tahu gak? Anak-anak itu juga gak ngapa-ngapain. Orang tuanya gak nanya, anaknya juga gak tahu. Guru apa kabarnya gak jelas. Sekolah lagi ngapain juga gak ada yang tahu. Ini bukti Mas Nadiem, pendidikan Indonesia itu harus dibenahi ke arah yang lebih jelas. Bukan malah bikin program yang makin gak jelas.

 

Sementara orang tua siswa yang punya fasilitas; punya gawai punya laptop dan akses internet. Tiap hari justru kepusingan ikut ngajarin anaknya. Karena gurunya gak nerangin, tahu-tahu tugas aja. Sementara orang tua yang miskin dan gak punya fasilitas, ahh mereka mah udah dari dulu pusing. Mereka diam walau tidak ada yang bantu ngurangin pusingnya. Orang tua pusing, orang pintar pusing, negara jadi pusing deh.

 

Jadi, apa yang saya mau bilang ke Mas Nadiem?

Sederhana Mas, gak usah bikin kebijakan lagi. Tapi cukup suruh semua apparat dan perangkat pendidikan turun ke lapangan. Kenali masalahnya konkretanya apa? Lalu cari solusinya. Bila perlu Kerjasama dengan Lembaga atau komunitas yang sudah ada di daerah tersebut, di kampung-kampung. Ajak mereka bantu siswa-siswa, anak-anak Indonesia di wilayahnya. Jadi jangan bikin kebijakan tanpa masalahnya. Karena tiap daerah tiap lokasi, punya masalah yang beda-beda. Entah fasiltas belajar, entah gurunya, entah media belajar dan sebagainya. Orang-orang pintar Mas Nadiem pasti tahu itulah ….

 

Covid-19 memang musibah Mas. Gak ada yang tahu dan gak ada yang mau juga. Tapi setelah terjadi, ada hikmahnya. Bahwa dunia pendidikan Indonesia sama sekali gak siap dan gak mampu melanggengkan hak anak-anak untuk tetap belajar.

 

Mas Nadiem, mendekatlah pada anak-anak Indonesia. Jangan di belakang meja doang, apalagi cuma mendengar ocehan orang-orang pintar yang belum tentu benar.

Ini anak-anak Indonesia lho, Mas. Oke Mas Nadiem, maaf ya dan semoga berkenan ….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar