Siapa sih yang gak kenal Ibu RA Kartini? Semua
pasti kenal la yauw.
Ibu Kartini itu pejuang emansipasi wanita.
Persis seperti Siti Aisyah RA, istri Nabi Muhammad SAW juga demikian. Sama-sama
berjuang untuk martabat wanita. Ibu Kartini dan Siti Aisyah, sama-sama beragama
Islam dan mendedikasikan hidupnya untuk perjuangan wanita. Walau keduanya juga
bersuamikan seorang tokoh yang menjalani poligami. Cuma bedanya, Ibu Kartini
berjuang di ranah budaya, sementara Siti Aisyah di ranah agama. Dan keduanya
hidup di zamannya masing-masing.
Hebatnya hari ini. Apa yang diperjuangkan Ibu
Kartini sejatinya sudah kelar. Emansipasi dan kesetaraan gender sudah tidak
jadi isu. Buat siapapun, bahkan di bangsa Indonesia. Karena wanita dan pria
sudah sama. Persamaan hak telah usai, emansipasi pun sudah jadi kenyataan.
Tapi sayangnya, di zaman now. Emansipasi pun
sudah bergeser. Bahkan salah kaprah dalam tafsir dan perilaku. Sehingga
kebablasan. Emansipasi bukan lagi values atau nilai-nilai. Tapi emansipasi
dianggap “harga” dan sebuah status. Feminisme hanya sebatas gerakan. Hingga gak
sedikit kaum wanita yang terjebak pada gaya hidup dan mengejar ekspektasi
sosial. Coba deh dicek realitasnya.
Maka buat saya, emansipasi itu harusnya sikap.
Bukan ambisi. Emansipasi yang orientasinya ditanam ke dalam diri, bukan dikejar
ke luar diri. Sekali lagi, emansipasi itu sikap, bukan ambisi. Karena sikap itu
cerminannya ada pada perbuatan yang berdasar pendirian, keyakinan. Sementara
ambisi hanya keinginan berupa hasrat atau nafsu untuk menjadi sesuatu. Perilaku
yang ngotot meraih status, pangkat atau kedudukan untuk mengangkat ekspektasi
sosial.
Di zaman now, emansipasi wanita sama sekali
bukan isu lagi.
Kartini zaman now sudah banyak yang pergi pagi
pulang malam. Kartini yang bekerja, bahkan jadi tulang punggung keluarga. Atau
biasa disebut wanita karier. Kartini hari ini ada di berbagai sektor, di
berbagai profesi. Kartini sudah sangat setara dengan Kartono; Wanita pria sudah
sama saja. Tidak ada lagi perbedaan. Itu realitas.
Segala urusan tentang wanita harus diatur,
harus dibela. Makanya ada "Menteri Urusan Wanita" dulu. Sekarang
namanya "Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak".
Sangat jelas, perempuan harus berdaya dan harus melindungi anak.
Catatan sejarah sudah membuktikan.
Kartini itu wanita hebat. Seperti juga Tjut
Nyak Dien, Dewi Sartika, dan Martha Tiahahu. Di peradaban Islam, ada pula
perempuan hebat seperti Siti Hajar yang tangguh, Siti Aisyah RA dan Zulaikha
yang solehah. Tapi ada kisah wanita-wanita sesat seperti Wahilah istri Nabi Nuh
AS dan Wa’ilah istri Nabi Luth AS.
Jadi apa artinya Hari Kartini?
Artinya, kaum Kartini harus tetap mawas diri.
Tetap eling lan waspada. Harus lebih hati-hati, seperti menghadapi wabah virus
corona Covid-19. Jangan gampang marah apalagi panik. Tetap jaga jarak dan
menghindari kerumunan. Gak boleh sombong karena Covid-19 itu mematikan. Rajin
jangan hanya “di luar”, tapi rajin pula “di dalam”. Dalam segala hal tentunya….
Karena fakta hari ini. Menjadi wanita yang
sukses, wanita yang pintar dan wanita yang kaya nyata-nya tidaklah susah. Tapi
untuk menjadi wanita yang solehah, wanita yang bersyukur, wanita yang sabar itu
sama sekali tidak mudah. Wanita yang sadar bahwa "ada di dunia" untuk
"tetap ada di akhirat".
Kartini ya kartini. Wanita ya wanita. Maka
butuh sikap, bukan hanya ambisi.
Karena berapa banyak wanita hari ini yang gampang lupa kewajibannya. Akibat mengejar urusan dunia. Berapa banyak wanita yang hebat dalam pendidikan dan karier. Tapi di saat yang sama gagal mengemban amanah. Entah sebagai ibu atau istri di rumahnya.
Karena berapa banyak wanita hari ini yang gampang lupa kewajibannya. Akibat mengejar urusan dunia. Berapa banyak wanita yang hebat dalam pendidikan dan karier. Tapi di saat yang sama gagal mengemban amanah. Entah sebagai ibu atau istri di rumahnya.
Kartini zaman now. Emansipasi itu bukanlah
pemberontakan wanita terhadap kodrat kewanitaannya. Bukan pula berjuang untuk
setara di satu sisi. Tapi salah guna membebaskan diri di sisi lain. Emansipasi
bukan itu. Emansipasi bukan wanita sibuk yang akhirnya membiarkan anak-anak
kesepian. Atau terjebak narkoba. Bukan pula anak-anak yang mudah dicaci maki
karena ibuny merasa sudah berjuang mati-matian untuk anaknya. Maka bila hari
ini, masih ada anak-anak yang "terluka hatinya" karena ibu mereka.
Itu tanda bahwa Kartini hanya sebatas ambisi bukan sikap.
Emansipasi itu sikap bukan ambisi.
Maka jangan pernah ada. Kaum wanita yang berani
berkata "ya" untuk orang lain. Tapi berkata mudah berkata “tidak”
untuk keluarganya. Kartini memang harus bahagia. Tapi bukan hanya di dunia.
Harus berjuang hingga ke akhirat. Karena bahagia itu perjuangan yang direstui
oleh Tuhan. Bukan perjuangan berdasar ambisi atau obsesi.
Pesan penting Hari Kartini. Adalah membangun
sikap bukan mengokohkan ambisi. Karena emansipasi adalah sikap bukan ambisi.
Salam sayang dari Kartono... tabikk. #SelamatHariKartini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar