Senin, 20 April 2020

Renungan Hari Kartini, Emansipasi Itu Sikap Bukan Ambisi


Siapa sih yang gak kenal Ibu RA Kartini? Semua pasti kenal la yauw.
Ibu Kartini itu pejuang emansipasi wanita. Persis seperti Siti Aisyah RA, istri Nabi Muhammad SAW juga demikian. Sama-sama berjuang untuk martabat wanita. Ibu Kartini dan Siti Aisyah, sama-sama beragama Islam dan mendedikasikan hidupnya untuk perjuangan wanita. Walau keduanya juga bersuamikan seorang tokoh yang menjalani poligami. Cuma bedanya, Ibu Kartini berjuang di ranah budaya, sementara Siti Aisyah di ranah agama. Dan keduanya hidup di zamannya masing-masing.

Hebatnya hari ini. Apa yang diperjuangkan Ibu Kartini sejatinya sudah kelar. Emansipasi dan kesetaraan gender sudah tidak jadi isu. Buat siapapun, bahkan di bangsa Indonesia. Karena wanita dan pria sudah sama. Persamaan hak telah usai, emansipasi pun sudah jadi kenyataan.

Tapi sayangnya, di zaman now. Emansipasi pun sudah bergeser. Bahkan salah kaprah dalam tafsir dan perilaku. Sehingga kebablasan. Emansipasi bukan lagi values atau nilai-nilai. Tapi emansipasi dianggap “harga” dan sebuah status. Feminisme hanya sebatas gerakan. Hingga gak sedikit kaum wanita yang terjebak pada gaya hidup dan mengejar ekspektasi sosial. Coba deh dicek realitasnya.

Maka buat saya, emansipasi itu harusnya sikap. Bukan ambisi. Emansipasi yang orientasinya ditanam ke dalam diri, bukan dikejar ke luar diri. Sekali lagi, emansipasi itu sikap, bukan ambisi. Karena sikap itu cerminannya ada pada perbuatan yang berdasar pendirian, keyakinan. Sementara ambisi hanya keinginan berupa hasrat atau nafsu untuk menjadi sesuatu. Perilaku yang ngotot meraih status, pangkat atau kedudukan untuk mengangkat ekspektasi sosial.

Di zaman now, emansipasi wanita sama sekali bukan isu lagi.
Kartini zaman now sudah banyak yang pergi pagi pulang malam. Kartini yang bekerja, bahkan jadi tulang punggung keluarga. Atau biasa disebut wanita karier. Kartini hari ini ada di berbagai sektor, di berbagai profesi. Kartini sudah sangat setara dengan Kartono; Wanita pria sudah sama saja. Tidak ada lagi perbedaan. Itu realitas.

Segala urusan tentang wanita harus diatur, harus dibela. Makanya ada "Menteri Urusan Wanita" dulu. Sekarang namanya "Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak". Sangat jelas, perempuan harus berdaya dan harus melindungi anak.

Catatan sejarah sudah membuktikan.
Kartini itu wanita hebat. Seperti juga Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan Martha Tiahahu. Di peradaban Islam, ada pula perempuan hebat seperti Siti Hajar yang tangguh, Siti Aisyah RA dan Zulaikha yang solehah. Tapi ada kisah wanita-wanita sesat seperti Wahilah istri Nabi Nuh AS dan Wa’ilah istri Nabi Luth AS.


Jadi apa artinya Hari Kartini?
Artinya, kaum Kartini harus tetap mawas diri. Tetap eling lan waspada. Harus lebih hati-hati, seperti menghadapi wabah virus corona Covid-19. Jangan gampang marah apalagi panik. Tetap jaga jarak dan menghindari kerumunan. Gak boleh sombong karena Covid-19 itu mematikan. Rajin jangan hanya “di luar”, tapi rajin pula “di dalam”. Dalam segala hal tentunya….

Karena fakta hari ini. Menjadi wanita yang sukses, wanita yang pintar dan wanita yang kaya nyata-nya tidaklah susah. Tapi untuk menjadi wanita yang solehah, wanita yang bersyukur, wanita yang sabar itu sama sekali tidak mudah. Wanita yang sadar bahwa "ada di dunia" untuk "tetap ada di akhirat".

Kartini ya kartini. Wanita ya wanita. Maka butuh sikap, bukan hanya ambisi.
Karena berapa banyak wanita hari ini yang gampang lupa kewajibannya. Akibat mengejar urusan dunia. Berapa banyak wanita yang hebat dalam pendidikan dan karier. Tapi di saat yang sama gagal mengemban amanah. Entah sebagai ibu atau istri di rumahnya.

Kartini zaman now. Emansipasi itu bukanlah pemberontakan wanita terhadap kodrat kewanitaannya. Bukan pula berjuang untuk setara di satu sisi. Tapi salah guna membebaskan diri di sisi lain. Emansipasi bukan itu. Emansipasi bukan wanita sibuk yang akhirnya membiarkan anak-anak kesepian. Atau terjebak narkoba. Bukan pula anak-anak yang mudah dicaci maki karena ibuny merasa sudah berjuang mati-matian untuk anaknya. Maka bila hari ini, masih ada anak-anak yang "terluka hatinya" karena ibu mereka. Itu tanda bahwa Kartini hanya sebatas ambisi bukan sikap.

Emansipasi itu sikap bukan ambisi.
Maka jangan pernah ada. Kaum wanita yang berani berkata "ya" untuk orang lain. Tapi berkata mudah berkata “tidak” untuk keluarganya. Kartini memang harus bahagia. Tapi bukan hanya di dunia. Harus berjuang hingga ke akhirat. Karena bahagia itu perjuangan yang direstui oleh Tuhan. Bukan perjuangan berdasar ambisi atau obsesi.

Pesan penting Hari Kartini. Adalah membangun sikap bukan mengokohkan ambisi. Karena emansipasi adalah sikap bukan ambisi. Salam sayang dari Kartono... tabikk. #SelamatHariKartini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar